Selasa, 18 Agustus 2015

Goresan luka di dalam rumah

Saya tidak hidup di dalam keluarga yang sempurna. Tiap harinya selalu ada rasa pedih yang tertahan di dada, bahkan jika sampai mendidih sekalipun, saya tetap akan menahan perasaan saya. Tak ada gunanya menangis, tak ada gunanya mengeluh, dan tak ada gunanya saya berbicara, karena memang tak ada tindakan atau perkataan yang lebih baik dibanding hanya diam saja.

Tak ada lagi kemampuan saya selain berusaha memejamkan mata bila suatu perkataan kasar dan tajam terlontar begitu ringannya dari mulut sang wanita bernama Ibu. Ada rasa marah, sedih, kecewa, dan lainnya yang membuat saya selalu ingin menjauh darinya. Kalau bukan karena ayah, mungkin tak akan berpikir dua kali untuk pergi dari rumah.

Sosok ibu telah hilang dari hidup saya, meski tidak sepenuhnya hilang, namun saya merindukan sosok ibu yang kata orang itu lemah lembut, penyayang, dan lainnya yang baik-baik. Kalau boleh jujur, saya tidak punya sosok ibu seperti ibu kalian yang seringkali kalian banggakan. Tapi, saya mempunyai sosok ayah yang seringkali membuat saya bangga terhadap dirinya. Ketabahannya, ketegarannya, dan kesabarannya. Saya tak pernah tahu, alasan apa yang membuat dirinya sebegitu tahan dengan pembicaraan-pembicaraan yang tak enak di rumah. Entahlah, harus berapa lama lagi saya berharap mereka tak satu tempat tinggal. Karena sepasang telinga dan mata ini juga butuh kedamaian di dalam rumah. Dan kedamaian hanya tercipta jika di antara mereka menuntut adanya perpisahan. Karena saya berpikir, di antara dua orang yang terus bersama namun tidak ada keharmonisan di dalamnya, maka tidak bersama lebih baik jika dengan hal itu mampu menciptakan sebuah keharmonisan. 

***

NB: Saya bukan berarti saya (asli). 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar