Sabtu, 29 Agustus 2015

Just My Imagination

Awalnya mungkin tak pernah mengira, tak pernah terbesit rasa ragu, tak pernah menyangka bakal ada hal buruk, dan tak pernah lainnya yang tak pernah terpikirkan. Semua itu terangkum atas dasar percaya. Percaya pada satu jiwa. Yang entah siapa tak diketahui wujudnya.

Di dalam hidup ini, memang tak semua orang dapat dipercaya, namun tak semua orang juga dapat menjaga rahasia. Hidup ini pilu. Ketika rasa percaya, dikhiananti mentah-mentah. Dan rahasia, bukanlah suatu rahasia, melainkan hanya ucapan belaka yang disimpan dan kapan saja dapat ditumpahkan.

Dalam kehidupan ini rasa percaya akan tumbuh jika sudah benar-benar melihat, utuh. Tapi jangan lupa, ada sesuatu hal yang tak terlihat namun dapat dipercaya. It's imagination. Dan kamu seperti imajinasi. Imajinasi yang hanya hidup bukan di dunia sebenarnya. Imajinasi yang selalu menampung semua cerita meski dicelupkan ke dalam bejana yang berlubang. Sia-sia. Dan itu sulit dipercaya. Karena kepercayaan yang sulit dipercaya adalah kepercayaan yang dikhiananti orang yang dipercaya. Just it.

Rabu, 26 Agustus 2015

New Love

Setiap pagi saya selalu menemukan cinta yang baru. Cinta yang disisihkan secara cuma-cuma oleh sebagian orang. Cinta seorang bapak yang mengantar anaknya sekolah, cinta seorang abang gojek mengantar penumpangnya, cinta seorang tukang parkir menjaga kendaraan yang dititipkannya. Dan cinta siapa saja yang dapat diakatakan cinta, meski bukan berarti makna cinta sebenarnya.

Cinta itu unik. Dapat hadir oleh siapa saja dan sebab apa saja, entah karena pekerjaannya kah, karena eksistensinya kah, atau karena yang lainnya yang membuat diri menjadi semangat karena faktor cinta. 

Cinta itu menarik, seperti melihat seseorang tersenyum yang mampu menciptakan kebahagiaan bagi orang yang melihatnya. 

Dan semuanya adalah cinta yang sederhana, yang menjadikan keikhlasan sebagai bahan utamanya. Karena ikhlas membuat cinta selalu baru dan tersirat.

***





Senin, 24 Agustus 2015

Sepi

Kalau dipikir-pikir, hidup itu sepi ya, jika tidak ada komentar dan perbincangan. Hidup terasa sepi itu ibarat sosial media, cuma bisa melihat postingan orang lain, retweet postingannya atau like postingannya tapi tanpa memberi komentar dan tanpa ada perbincangan atau sekedar chat biasa. Kayak di blog gue aja, gak ada yang komentar dan pastinya gak ada perbicangan, sepi. Makanya buat para pembaca, beri komentarnya dong di sini, jangan beri komentar lewat chat pribadi. Hehehe 

Hidup itu kayak hidup di sosial media, ada yang hidupnya selalu pamer dengan postingan-postingannya tapi giliran diberi komentar malah gak ada balasan, hidupnya cuma untuk pamer dan gak terima perbincangan. Ada juga yang hidup di sosial media hanya untuk dagang, yang seperti itu mungkin dapat dikatakan "hidup", selain selalu dikomentari dan tentunya selalu ada perbincangan meskipun perbincangan di sini hanya untuk penjual dan pembeli yang berminat, kalau tidak berminat, maka sepilah hidupnya. Ada juga yang kehidupannya ramai, tapi sayangnya hidupnya terasa ramai jika di sosial media saja alias hanya di dunia maya, selebihnya hidupnya sepi di dunia nyata.

Hmm... pasti masih pada bingung ya ini tulisan absurd apa?

Jadi, intinya hidup itu sepi jika tanpa perbincangan. Kayak tempo hari di salah satu stasiun di Jakarta, kelihatannya sih ramai pengunjung, tapi suasana di sana justru sepi. Karena mereka memiliki dunia ramai yang tersendiri; dunia maya. Dan yang lebih gak enaknya lagi, di dunia nyata terasa sepi, di dunia maya juga ikutan sepi. Gak ada kehidupan yang menarik. Memang begitulah, kalau hidup tanpa ada komunikasi dengan orang lain. 

Minggu, 23 Agustus 2015

Tetapi

Ada beberapa hal di dalam hidup gue yang belum terlaksana dengan rapi dan menawan. Sesuatu hal yang sangat gue inginkan tetapi belum tercapai. Ini bukan soal cita-cita, juga bukan kisah asmara, tetapi soal minat yang terpendam lantaran malu untuk merealisasikannya. 

Barusan gue membaca sebuah tulisan dari penulis yang sedang cetar di khayalak pecinta puisi; M. Aan Mansyur. Di dalam tulisannya, gue menemukan sebuah kalimat yang renyah pas dibaca, "Tetapi, kau tahu, hidup selalu punya tetapi."

Kembali ke awal, ada beberapa keinginan dalam hidup gue tetapi belum ke taraf pencapaiannya. Salah satunya adalah gue ingin baca puisi. Udah gitu aja. Jujur, gue menikmati semua puisi dari berbagai penulis, terkenal gak terkenal atau bagus gak bagus. Karena bagi gue, puisi itu adalah kejujuran. 

Waktu gue kelas 3 SMP, memang sudah diwujudkan. Gue baca puisi di depan teman-teman sekelas gue. Di luar kelas, di lapangan bulu tangkis di depan kantin, dan di samping kolam ikan, sedang praktek musikalisasi puisi, pelajaran Bahasa Indonesia. Gue beserta teman sekompok maju di depan guru dan teman-teman, awalnya bukan gue yang ditunjuk untuk membaca puisi saat sesi baca puisi sendirian, namun sesaat ingin tampil, justru gue yang ditunjuk tiba-tiba. Spontan, gue menghafal puisi buatan teman gue, dan kemudian saat eksekusi, puisi yang baru beberapa menit gue hafal malah hilang semuanya. Akhirnya, gue harus merombak di saat gue berdiri dan membaca puisi. Yang awalnya puisi teman gue, berubah jadi puisi dadakan ala gue. Syukurnya, semuanya hening akan penampilan gue saat itu. Entah hening karena apa. Hohoho... 

Lepas dari bangku SMP, sebetulnya gue selalu ingin ikut perlombaan baca puisi, nulis cerpen, dan lain-lainnya yang berhubungan dengan dunia sastra. Tetapi, semua hanyalah keinginan belaka. Bisa menginginkan tetapi tidak bisa menentukan. Alhasil, gue selalu memandang dari jarak kejauhan bila melihat teman-teman sedang lomba baca puisi dan berdiri di lapangan sekolah pas tempat pembina upacara menyampaikan pidatonya. Dalam hati selalu bersuara, "kapan lo berani tampil ke depan?"

Dan sekarang, gue masih malu untuk tampil ke depan, padahal banyak perkumpulan teman-teman se-takdir yang ditakdirkan suka dengan puisi. Itulah keinginan gue; gue ingin baca puisi. Menyampaikan kejujuran lewat kata per kata dan intonasi, memberikan pesan pada bait yang didengarkan dan memekik rindu pada semua kejujuran. 

Namun semua hanya keinginan yang masih disisipakan kata "tetapi". 

Jumat, 21 Agustus 2015

Di Dalam Perpustakaan

Di Dalam Perpustakaan


Sepasang muda-mudi duduk berkerumun
Beberapa bangku ditemani meja yang anggun
Tak ada suara, hanya pergerakan tangan yang berlari
Muka pucat, pening, dan gundah yang terlihat
Setumpuk tugas alasan mereka tak berkutat

Dengan penuh kekhidmatan
Buku-buku di dalam rak pun ikut bersorak
Menyaksikan wajah-wajah kebingungan
Menyangkal bahwa mereka sungguh belajar

Kasihan memang anak Indonesia
Diberi beban tugas bak ukuran gunung
Ditaruh di pundak dan dalam otaknya
Dibawa kemana pun beban terselubung

Terus memegang kepala
Rasanya seperti balon yang makin mengerat
Siap meledak!

Di dalam perpustakaan 
Tak lagi ada rasa penyejukan
Mereka panas dengan tugasnya
Sementaraku dingin karena melihatnya

***




Rabu, 19 Agustus 2015

Rasa cinta berbagai versi

Cinta Sebelah Mata

Jika pagi ingin menyapa. Kerumunan kabut pun
mengelilinginya. Membuat pandangan kabur sejenak.
Menghela napas secara jeda. Menunggu dengan tabah.
Menyaksikan kabar baik dari kedatangan matahari.
Matahari pagi penghangat sepanjang hari,
yaitu kamu.



Mungkin sajak di atas dikhususkan untuk mata kanan salah seorang teman yang belum menyadari keberadaan mata kirinya. Dia melihat cinta sebelah matanya, bak seseorang yang terlalu menggilai kedatangan pagi. Rela menunggu demi kabar baik dari sang mentari. Dan rela mencuri waktu demi ingin melihat sang penghangat pagi. Padahal boleh jadi mata kirinya menghambakannya untuk tertidur, pulas bermain di alam mimpi, dan membiarkan matahari sudah terlihat tanpa perlu menunggu kedatangannya. Toh matahari akan selalu datang meski tak ditunggu. Namun bukan itu alasan terkuatnya. Bahwasanya melihat matahari datang perlahan-lahan adalah waktu yang paling indah dalam proses penghangatannya. Dia menyukai matahari yang selalu datang tepat waktu dengan segala pesonanya. Dan matahari itu adalah kamu, seseorang yang disukainya.

Entahlah, harus berapa lama lagi sepasang telinga menjadi saksi cerita akan mataharinya. Dan harus sampai kapan menahan muak melihat wajahnya merona jika mengingat mataharinya. Konon katanya, orang yang sedang mengidap cinta sebelah mata sama seperti orang yang menjejali cinta buta. Tak bisa melihat sepenuhnya, hanya indera perasa saja yang dibekalinya. 

Bahkan ada juga yang terjangkit dengan cinta diam-diam. Bicara cinta ini memang tak akan habis versinya, meski kebanyakan ceritanya sama. Beralih dari mataharinya yang sama sekali belum melirik kepadanya. Miris sih, tapi biarlah sepasang matanya berdamai secara bersamaan. Kita doakan saja semoga nantinya akan baik-baik saja akhir dari cinta sebelah matanya. 

Di sisi lain, saya ingin memutar cerita salah seorang teman yang justru menekan suaranya di dalam diam, menekan perasaannya di dalam hati, tak terdengar sama sekali, padahal orang yang disukainya adalah kerabat dekatnya sendiri. TIpe orang seperti ini memang pandai bermain wajah di depan orang lain dan di depan orang yang disukainya, namun di dalam batinnya, dia tak dapat menipu dirinya sendiri. Sebut saja dia Marlena. Gadis perempuan yang sudah geregetan akan tingkahnya. "Tinggal bilang suka saja kok ribet. Toh ke teman dekatnya, kan?" 

Hmm.. memang sih sebagian perempuan masih terbilang gengsi dan malu soal menyatakan perasaannya terlebih dahulu. Tapi kan tak ada salahnya juga, daripada terus menikam dirinya sendiri, memenjarakan perasaannya, dan menelantarkan pikirannya. Bahkan yang lebih bodohnya lagi adalah menyuruh teman yang lainnya untuk bersedia didekatkan dengan orang yang disukainya. Itu mah sama saja bunuh diri perlahan-lahan, mbok ya kalau suka ojo begitu, itu juga sama saja menyakitkan diri sendiri meski dari sisi luar terlihat bahagia.

Ini ceritanya si Marlena suka dengan kerabatnya yang bernama Sabari. Namun karena Marlena merasa tidak cocok dengan Sabari, lantaran dia pikir Sabari lebih baik bersama Syifa saja. Syifa terlihat lebih sempurna untuk mendampingi Sabari. Begitulah jika perasaannya yang menggebu justru menjadi debu. Tak ada rasa percaya diri, padahal bisa jadi, Sabari juga menyukai Marlena. Cuma perasaan Sabari seperti namanya, masih sabar dalam bentuk rasa sukanya. Atau jangan-jangan Sabari juga berpikir bahwa Marlena lebih baik tidak bersamanya? Haduh, ribet sekali perkara cinta ini. Rasanya ingin menarik Marlena dan Sabari, menekan mereka agar menyuarakan perasaannya. Jika yang satu suka dan yang satunya lagi juga suka, yasudah. Jika yang satu suka namun yang satunya tidak suka, yasudah. Sederhananya cinta adalah kejujuran tanpa harus mengaitkan orang ketiga yang tak bersalah.

Sayangnya, itu semua adalah khayalan. Mengkhayalkan Marlena mengatakan perasaannya ke Sabari. Tapi kenyataannya tetaplah sama. Biarlah Marlena sendiri yang akan mengarahkan perasaannya. Toh dia lebih tahu bagaimana dirinya. Sebagai seorang pendengar, kewenangan kita adalah mendengarkan, memberikan sepasang telinga sepenuhnya dan juga memberikan sepatah kalimat jika dimintanya. 

Soal cinta memang terdengar rumit, namun sejatinya cinta itu adalah hal yang sederhana. Menyatukan pendengaran, penglihatan, dan perasaan dengan baik. 

***

NB: Marlena, Sabari, dan Syifa adalah nama yang tidak sebenarnya. 








Selasa, 18 Agustus 2015

Kamu

Seharusnya kemarin, tepat di tanggal delapan belas. Di mana angka yang selalu membawa pada kenangan manis. Delapan belas september dua ribu sembilan, itulah pertama kali aku dan kamu bertemu. Di salah satu bangku penumpang yang berhadapan, aku dan kamu terjalin dalam sebuah perkenalan semu. Ingatkah saat itu bagaimana wajahmu pertama kali kulihat? Dan ingatkah kamu akan sebuah senyuman yang tak sengaja aku berikan? Di gerbong tiga dari belakang, aku menghitung jarak perpisahan dan harapan. 

Tak ada acara saling tukar kontak, namun selang sebulan aku dan kamu terpisah karena tujuan kota yang berbeda. Kamu datang bak hantu yang bergerayangan. Di sekolahku saat itu, dua kali aku dan kamu bertemu. 

Dan waktu terus mengeratkan di antara dua muda-mudi yang sudah saling menyukai. Namun, waktu juga yang telah merenggangkannya. 

Bersabarlah... sejauh aku dan kamu terus menanti seperti dulu. Akan ada waktu di mana nanti aku dan kamu bertemu dengan yang sudah ditentukanNya. 

Goresan luka di dalam rumah

Saya tidak hidup di dalam keluarga yang sempurna. Tiap harinya selalu ada rasa pedih yang tertahan di dada, bahkan jika sampai mendidih sekalipun, saya tetap akan menahan perasaan saya. Tak ada gunanya menangis, tak ada gunanya mengeluh, dan tak ada gunanya saya berbicara, karena memang tak ada tindakan atau perkataan yang lebih baik dibanding hanya diam saja.

Tak ada lagi kemampuan saya selain berusaha memejamkan mata bila suatu perkataan kasar dan tajam terlontar begitu ringannya dari mulut sang wanita bernama Ibu. Ada rasa marah, sedih, kecewa, dan lainnya yang membuat saya selalu ingin menjauh darinya. Kalau bukan karena ayah, mungkin tak akan berpikir dua kali untuk pergi dari rumah.

Sosok ibu telah hilang dari hidup saya, meski tidak sepenuhnya hilang, namun saya merindukan sosok ibu yang kata orang itu lemah lembut, penyayang, dan lainnya yang baik-baik. Kalau boleh jujur, saya tidak punya sosok ibu seperti ibu kalian yang seringkali kalian banggakan. Tapi, saya mempunyai sosok ayah yang seringkali membuat saya bangga terhadap dirinya. Ketabahannya, ketegarannya, dan kesabarannya. Saya tak pernah tahu, alasan apa yang membuat dirinya sebegitu tahan dengan pembicaraan-pembicaraan yang tak enak di rumah. Entahlah, harus berapa lama lagi saya berharap mereka tak satu tempat tinggal. Karena sepasang telinga dan mata ini juga butuh kedamaian di dalam rumah. Dan kedamaian hanya tercipta jika di antara mereka menuntut adanya perpisahan. Karena saya berpikir, di antara dua orang yang terus bersama namun tidak ada keharmonisan di dalamnya, maka tidak bersama lebih baik jika dengan hal itu mampu menciptakan sebuah keharmonisan. 

***

NB: Saya bukan berarti saya (asli). 



Kamis, 13 Agustus 2015

Sadar Diri

Pada suatu waktu bila pikiran tertuju pada sebuah dosa, kematian dan alam akhirat. Menyingkirkan sejenak serba-serbi kehidupan dunia dan anganan tentangmu. Ada rasa khawatir, takut, dan juga sedih yang tak terbayangkan, "bagaimana nanti kematianku?" 

Ditambah lagi jika pikiran tersebut dibayangkan oleh wajah-wajah orang yang disayangi; orang tua. Rasanya ada perih yang menyobek bila memikirkan kehidupan akhirat. Berpikir bila diri ini nantinya akan tinggal sendiri di dalam tanah, tanpa ada cahaya, dan tanpa ada penolong siapapun kecuali amalan-amalan yang dibekali dengan kebaikan. Lantas, bagaimana jika amalan tersebut lebih ringan timbangannya dibanding amalan-amalan buruk semasa di dunia? Jujur, sebagai manusia yang kerap masih melakukan dosa namun sadar itu adalah dosa, rasa takut itu seakan terus menghantui, takut masuk ke dalam tempat yang paling jahanam. Terlebih bila sudah memasuki dunia akhirat, tak ada lagi pengulangan atau tak ada gunanya lagi penyesalan bila amalan buruk di dunia ditimbang lebih berat. 

Alam akhirat begitu abadi dan siksa kubur teruslah menanti. Lalu, bagaimana dengan diri? Apakah sudah siap bila Izrail menghampiri? 

Satu lagi untuk kalian yang sudah membaca postingan ini, ingatkanku bila ada kesalahan yang musti diperbaiki, nasihatkan aku dikala sendiri, dan sadarkanku akan selalu tentang mati. Karena aku seringkali lupa akan hal ini dan masih terlena oleh kehidupan dunia yang semu, yang lebih banyak menawarkan untuk pergi beranjak menikmati suguhan ciptaanNya namun justru melupakanNya. 

****

Senin, 10 Agustus 2015

Belajar Makna Kehidupan Dari Sang Fotografer

Sebelumnya saya sudah meminta izin untuk menuliskan tentangnya dan beberapa hasil fotonya. Namun tidak diwawancara lebih lanjut, karena dirasa sudah cukup toh gak banyak yang akan ditulis.

Namanya Bang Dzoel, fotografer dari Banyuwangi. Sekilas saya melirik kepada sosoknya, ada satu hal yang langsung muncul di dalam benak saya; Syukur. Rasa syukur itulah yang membuat saya untuk terus mensyukuri hal apapun yang sudah diberikan Allah. Dan dengan bersyukur pula, mungkin Bang Dzoel mengawali kariernya masuk ke dunia fotografi. 

Dalam bidang apapun, acapkali kita juga menemukan sosok seperti Bang Dzoel, sosok orang yang mampu memberikan makna akan sebuah kehidupan. Bahwasanya hidup itu memang harus disyukuri atas pemberian Allah dan juga dijalani dengan lapang dada serta dibumbui semangat untuk terus melanjutkan hidup. Jangan salah, mungkin kebanyakan orang yang mempunyai fisik yang sempurna selalu memberikan sapaan negatif kepada yang (maaf) fisiknya tidak sempurna, padahal belum tentu fisik yang sempurna lebih baik daripada yang tidak sempurna. Lagipula juga banyak yang mengeluh kepada Allah padahal sudah diberikan fisik yang sempurna, duuuuh.... apa gak malu tuh? 

Ngomong-ngomong tentang Bang Dzoel sebagai fotografer kece (lihat dong gaya fotonya ✌), ini adalah beberapa hasil jepretan dari Bang Dzoel:



Cukup dua saja kayaknya yang dipajang di sini, selebihnya bisa melihat ke akunnya Bang Dzoel. Oh ya, untuk yang bersangkutan terima kasih karena telah mengingatkan kembali khususnya diri saya sendiri, untuk terus bersyukur dan semangat dalam menjalani hidup. Karena kemajuan seseorang dalam hidup bukan berdasarkan fisik yang sempurna atau tidak, melainkan niat dan ketabahan dalam usaha dan doanya. 


***



Email Cinta?

"Email Cinta? Kenapa bukan surat cinta aja, sih?" 

Surat dan email itu beda, Bro. Kalau surat pastinya tulis tangan asli di selembar kertas atau beberapa kertas kemudian dikirim ke orang yang dituju baik melewati pos atau dikirim langsung ke orangnya. Sedangkan email yaitu surat elektronik, tulisannya diketik dan dikirim ke alamat email yang dituju. Namun karena akhirannya adalah cinta, email cinta atau surat cinta, maka isi dari pesan yang disampaikan adalah membahas tentang cinta. Entah itu hanya menyatakan perasaannya atau lebih daripada itu, nembak lah istilahnya.

Dalam sejarah hidup gue sampai sekarang, pertama kali gue nerima surat cinta pas masih duduk di bangku SD namun gak gue tanggapi. Berlanjut ke bangku SMP, ini adalah kisah cinta pertama gue melalui surat. Gue pernah kirim surat cinta ke satu cowok seangkatan sama gue alias seumuran tapi beda kelas. Isinya sih peraturan-peraturan selama jadian (Yups! It's my first love), karena di jaman itu, gue masih belum diperbolehkan pegang ponsel, akhirnya melalui surat. Itu pas masih baru kelas tujuh. Di akhir masa SMP (udah putus sama yang tadi), gue pun masih tetap menggunakan surat sebagai media menyampaikan perasaan, padahal pas kelas sembilan, gue udah punya ponsel, cuma masalahnya, cowok yang ditaksir selama dua tahun itu, gue gak punya nomor ponselnya. Mau minta ke teman dekatnya aja gue malu, apalagi ke orangnya langsung. Hehehe. Di sini sih teman-teman gue pengin ikut cari tau nomor ponselnya, tapi gue nya juga gak mau sih (kalau kata lagu sih mau tapi malu). Dan akhirnya untuk pertama kali gue menyatakan perasaan gue terlebih dahulu melalui surat ke orang yang dituju, namun di tengah perjalanan sebelum kasih surat ke orang yang dituju, gue malah berhenti separuh jalan. Alhasil surat tersebut gue buang ke tong sampah sebelum dikasih ke orang yang dituju. Huhuhu .....

"Gue berpikir saat itu kayaknya belum saatnya deh, lagipula gue kan cewek, masa menyatakan perasaan terlebih dahulu?" begitulah bisikan-bisikan halus saat itu. 

Terlewat dari surat tersebut yang lupa gue robek terlebih dahulu, teman-teman cowok gue pun ternyata ada yang mungut surat itu (entah tuh teman gue bakat jadi pemulung atau gimana) dan yang lebih mengenaskannya lagi adalah yang mungut malah teman gue yang mulutnya kayak ember bocor. Saat itu gue gak tau deh mau ditaruh di mana muka gue yang udah kayak bawang merah. Padahal di surat tersebut gak ada nama pengirimnya, tapi karena tulisan gue mudah terdeteksi maka dengan mudahnya teman gue menduga surat tersebut dari gue. Oh ya, yang mungut itu teman sekelas gue, makanya mudah kenal tulisan gue. Pffft!!! Mungkin rasanya lebih persis maling yang ketangkap basah. 

Sejak saat itu, gue jadi baik-baikin teman cowok gue tadi, berharap gak mendobrak isi surat gue ke yang lainnya, ya meskipun teman-teman sekelas gue jadi tau semua. 

Singkat cerita setelah lulus SMP dan masuk ke sekolah berikutnya. Gue mengubur masa-masa tragedi surat cinta yang membuat uang jajan gue jadi terbagi ke teman cowok tadi. Selang beberapa minggu masih menghirup kehidupan baru di sekolah baru, gue pun agak kaget sejenak pas buka sms dari ponsel gue, ternyata oh ternyata dari cowok yang gue taksir selama dua tahun itu. Lo tau rasanya saat itu? Mungkin kayak ice cream mencair, deh. Meleleh mendadak gue. Satu sama lain jadi saling kenal dan makin mengenal, sampai akhirnya bahas mengenai surat yang tempo dulu gagal dikasih ke orangnya. Yang lebih mengejutkannya lagi sih, gue dan dia sama-sama menyimpan perasaan yang sama dalam tempo waktu yang sama. Dan kita pun (kayak) jadian. Itu pertama kalinya gue pacaran lagi di bangku SMK. 

Tapi semua gak lama seperti perasaan yang pernah tersimpan. Mungkin dalam hitungan dua atau tiga bulan semua terhapus begitu saja. Dan gue kenal dengan sosok baru yang menggantikannya, selama masa SMK bahkan sampai dengan lulus, gue justru bertahan dengan satu orang yang sebelumnya gue juga gak kenal tapi asik diajak ngobrol dan nyambung. Pas sama yang ini, gue juga pernah saling balas-balasan pesan lewat surat. Meskipun keduanya punya ponsel, tapi tulis tangan itu kayak ada different feel aja pas baca isinya.

Terlepas dari itu semua. Mungkin di jaman sekarang, sudah bukan jamannya lagi menyatakan perasaan lewat surat, kudu tulis tangan, capek (mungkin). Makanya deh alternatifnya adalah melalui surat elektronik alias email. Isi pesannya menyangkut soal perasaan, makanya disebut email cinta. Nuhun ya, gak gue screen capture, karena itu kan privasi. Hehehe. Dan sekarang juga kudu bisa menjawab dengan tepat dan sopan. Karena semakin dewasa tingkat kepribadian seseorang, maka hal yang dinyatakan lewat perasaan adalah hal yang menjorok pada jenjang keseriusan. 

Melalui email cinta ataupun surat cinta, apapun itu sampaikanlah perasaan dengan tulus dan jujur. Tapi kalau memang dirasa belum tepat menyampaikannya, tahanlah sebentar, karena buah kesabaran itu manis. 

***





Sabtu, 08 Agustus 2015

Dirgahayu, Cibeno!

Cie... cie... yang sudah berkepala dua, alias sudah umur dua puluh tahun. Apapun itu, gue sebagai sahabat lo (kalau dianggap sahabat) senantiasa (kaku banget ye bahasanya 😂) selalu berdoa untuk kebaikan lo. Maaf ya, mungkin gue gak sama kayak teman-teman lo yang melakukan ritual ulang tahun, hehe ... you know me, laah ...


Gue sih sebenarnya gak nagih traktiran, Ben. Cuma, ya kalau lo paham mah pasti neraktir tanpa harus dipalak dulu, kan. Hehehe. Anggap aja itu salah satu bentuk syukur lo, Ben. Lagipula kan lo udah PKL, Ben, jadi gak ada alasan gak punya duit. Hahahaha... ini ceritanya gue maksa banget ya?

Lagian sih lo, kalau sama teman-teman yang lainnya, pakek segala update di path, nongkrong di tempat makan ini, itu. Tapi giliran mau nongkrong bareng gue, alasannya gak punya uang, bokek. Dasar lo, Ben. 😂

Eh Ben, walaupun lo udah genap dua puluh tahun, kayaknya pikiran lo lebih dewasa deh daripada gue. Apalagi kalau bahas cinta, gue selalu diceramahin panjang lebar dan lo lebih tau gue kalau lagi gak mood, pasti ngajak gue ke minimarket beli cokelat atau ice cream, tapi ujung-ujungnya ya itu, pasti gue yang bayarin. Haha.

Hmm... apalagi ya? Gue sih bersyukur Ben, bisa sahabatan sama lo. Teman sewaktu kecil sampai dengan sekarang, ya meskipun gue masih belum bisa mengungkap kebenarannya, kalau lo beneran punya darah orang Cina atau enggak? ✌

Hmm... berhubung masih di tanggal lahir lo, gue sangat berharap lo bisa mengatur waktu lebih baik, buat teman dan juga keluarga lo. Kan kasihan tuh duplikat lo alias adik lo, gak ada yang ngajak main. Hohoho ....

Wish you all the best, Cibeno. Makasih ya udah jadi salah satu sahabat terbaik gue.


Jumat, 07 Agustus 2015

Bahas Mantan

Pagi ini ceritanya lebih menghabiskan waktu bermain di dunia twitter, celingak-celinguk ke beberapa akun dan menemukan potongan tweet mengenai mantan. 

Kata mantan di sini identik dengan seseorang yang pernah mengisi hati alias sosok kekasih pada masa lalu. Gak semua orang punya mantan kekasih, kalau mantan gebetan mungkin semua orang punya, apalagi mantan cem-ceman semacam kayak gebetan tapi bukan gebetan. Nahloh, apaan dah tuh. 

Ngomong-ngomong tentang mantan kekasih, biasanya itu lebih mirip kayak mantan sekolah. Kenapa? Karena sekolah dianggap bagus bila kita sudah lulus darinya. Paham?

Dan kemudian, pastilah terselip berbagai kenangan, rasa apapun ada di dalamnya; asem, manis, pahit, asin, bahkan hambar. Mantan telah mengajarkan tentang gado-gado ala perasaan. 

Sebenarnya banyak hal yang ingin dituliskan mengenai mantan. Tapi kenapa jadi mendadak bingung begini ya?

Hmmm.... oke...oke. Buanglah baper pada tempatnya. 

Mantan, ya? Biasanya orang selalu menanyakan, "mantan lo ada berapa?" Semakin banyak angka menjawabnya, biasanya justru dibilang playgirl atau playboy. Padahal gak selamanya orang terinfeksi virus tersebut (baca: playboy/playgirl). Apalagi kalau ada yang bilang belum pernah pacaran, biasanya langsung dibilang gak laku lah, gak normal lah, atau apalah-apalah lainnya. Padahal, gak semua orang sama seperti yang dibilang orang lain. Malah kalau boleh jujur mah, mending gak usah pacaran deh, enak! Gak usah nanggung beban apa-apa, beban kenangan gitu misalnya. 

Lantas, nulis apa lagi ya? Jadi makin bingung kalau bahas mantan. 

Disfungsi Buku

Pernah gak sih kalian menyesalkan karena ada suatu benda yang diinginkan tapi gak jadi dibeli. Kalau pernah merasakan begitu berarti samaan kayak saya. Hohoho.

Kemarin ceritanya saya sedang beli somay di dekat rumah. Karena masih antri, saya pun memanjakan sepasang mata saya untuk melihat-lihat ke arah ibu pedagang somay dan apapun barang dagangannya. Lantas terkesima dengan satu buku yang tergeletak di samping panci tempat bumbu somay diletakkan. Saya pun menghampiri dan melihat buku tersebut, "Argh... ini kan buku yang dicari." Salah satu buku langka karya Ayu Utami dalam genggaman tangan saya yang sudah ternoda oleh bumbu somay dan minyak yang menempel, belum lagi pas dilihat bagian akhirnya sudah banyak yang dirobek paksa. Kayaknya sih untuk bungkus kertas gorengan. Huft... batin saya menyesali. Andai kata buku tersebut masih dalam keadaan utuh meski kondisinya sudah tak lagi suci, saya berniat untuk membelinya. Tapi apalah daya, saya hanya membuka lembar demi lembar yang sudah ditembus oleh minyak.

Fenomena begini kayaknya bukan hal tabu lagi deh, di mana para pedagang yang biasanya menyobekkan kertas adalah kertas dari buku-buku langka alias buku-buku lama. Duh...meskipun sudah buku lama,kan masih ada juga yang mencari setengah ngos-ngosan buku tersebut. Huh ... .... ....

Patut disesalkan sih sebenarnya, mau seberapa tua buku tersebut,ada baiknya dijadikan koleksi yang bisa dimanfaatkan untuk dibaca kembali atau dibaca orang lain. Buku itu meski dibilang sudah tak ada gunanya, tidak membuat sifat buku hilang maknanya.


Sedikit Tentang Saya

Setiap orang mempunyai sisi gelap dan terang, entah banyak atau sedikit porsi keduanya. Di dalam tulisan ini adalah sedikit tentang saya yang akan diceritakan dari sisi gelap atau kurang menyenangkan. Soal kegundahan dan keterpaksaan yang selalu dijalani sampai batas waktu yang terbilang tak akan diketahui masa habisnya.

Saya, kata sebagian orang adalah seseorang yang apabila diam itu berarti dia sedang marah, dilengkapi dengan mimik wajah yang tak biasanya terlihat ceria. Kata sebagian orang, hidupnya itu penuh khidmat dan lepas. Namun semua itu adalah pandangan luar dari segelintir orang yang melihat sekejap. 

Saya. Saya merasa hidup ini seperti pengasingan. Di mana semua orang di dalamnya adalah orang asing bagi saya, yang menempatkan diri saya dalam sebuah fondasi pengekangan. Rasanya hidup itu tak lagi membentang luas bak seseorang yang baru saja melihat keindahan alam dunia, melainkan terasa sempit dalam dunia asing tersebut. 

Sebuah pengasingan yang membentuk langkah saya menjadi terhimpit untuk berlari cepat, dengan ramuan penuh kekangan yang masih saya adopsi. Seringkali dalam dunia ini, saya tidak menemukan diri saya sendiri. Layaknya bayangan yang tak ingin menuruti wujud aslinya. Pagar yang bernama kekangan itulah yang tak bisa saya loncati, menikam diri sendiri dari dunia sendiri. Itulah sisi terpencil dari dunia saya, yang membuat saya harus rela dan terpaksa menjalaninya juga mampu membuat saya berpura-pura menapaki dunia yang lainnya. Dunia kamu dan dunia mereka. 

Kamis, 06 Agustus 2015

Bila Nanti Dunia Kita Beda

Bila nanti dunia kita beda
Melampaui ruang dan waktu yang tak sama
Sisipkan rindumu lewat sebuah doa
Yang kau endapkan halus dalam untaian kata

Bila nanti dunia kita beda
Bahagiakanlah dirimu utuh
Sandungkanlah ungkapan merdu
Dan ringankanlah memorimu

Bila nanti dunia kita beda
Patahkanlah cintamu yang sudah terpahat untukku
Buanglah jauh semua anganan semu
Khayalan akan satu dan selamanya

Bila nanti dunia kita beda
Kenanglah aku dalam kebaikan
Meski beribu dosa yang dibuat bersama
Tuntunlah aku dalam surgaNya

Dan bila nanti dunia kita beda
Izinkan aku untuk bahagia
Selama-lamanya  

Rabu, 05 Agustus 2015

Alay

Pagi ini pas gue buka akun twitter, terselip beberapa tweets (yang menurut gue) alay dari segelintir orang. Bahasanya sih puitis-puitis hiperbola gitu, tapi kok pas dibaca malah agak ilfil gitu ya? Belum lagi di dalam racikan kalimatnya berisi curhatan semua.

Sumpah, setelah baca sambil komat-komit "alay", gue jadi berkaca diri. "Gue alay gak ya?" Kemudian gue duduk dan terdiam, merileksasikan diri masih dengan pertanyaan yang sama, "apakah gue termasuk kategori alay?" Karena gue pun sama, kadang suka memaparkan kalimat hiperbola gitu, ya meski tulisannya sudah berbeda. Dahulu kan belum mengenal typo, kata per kata disusun tak beraturan. Kalimat besar dan kecil bergantian menempel pada satu kata, belum lagi huruf A yang seringkali diganti jadi angka 4, huruf E diganti jadi angka 3, dan seterusnya. Makanya dulu pada masa gue sekolah, gue dan kalian (mungkin) sudah terjerumus dalam dunia peralayan. Alay itu konon penyakit anak muda yang sekarang dibilang "chili-chilian alias cabe-cabean". Ya keleus, dandanan kayak gue masih dibilang begitu.*Ceritanya gak mau dibilang alay*

Kategori alay jaman sekarang itu apa ya? Takutnya sudah beda jaman, sudah ada pergeseran makna tersebut. Tapi kayaknya tetap saja sama, ya? Dibilang alay kalau tulisan kalimatnya bikin ilfil dan enek (sorry), kalimat tulisannya juga penuh typo yang bikin sakit mata, terus juga apa yang dibahas ya gitu-gitu saja, curhatan pribadi diumbar semua. Contoh: qu chayang dy tp dy gak chayang qu. Setelah tulisan, hal yang termasuk dalam katalog alay adalah pose foto. Bedakan mana pose alay dan pose narsis atau sekedar foto biasa. Kemudian juga penampilan, nah coba deh perhatikan sekelompok pemudi yang biasanya dibilang "chili-chilian", dandanannya itu lho, ckckck *geleng-geleng kepala" dan terakhir, dikatakan alay apabila tingkah lakunya ya alay. Agak-agak gimana gitu, absurd tapi sok gaul tapi ..... hmmm apa ya? Bingung nulisnya gimana. Pokoknya alay gitu lah. 

Tapi ya, fakta selanjutnya tentang alay, ternyata kalau ada orang dibilang alay padahal sudah jelas masuk ke salah satu penghuni katalog alay, mereka itu biasanya membalikkan seruan alay tersebut. Misal si A bilang ke si B, "alay lo!" Lantas si B menjawab, "lo yang alay." Padahal mereka berdua sama-sama alay tapi gak mau ngaku. Haduh...haduh. 

"Alay...alay, alay kok gak mau dibilang alay?" Ceritanya gue lagi ngomong sama orang di depan cermin.

***

By the way, di awal kalimat gue mencantumkan kata "akun twitter", bagi kalian alayers atau mantan alayers yang masih menghuni di dunia twitter, boleh kali ah follow gue, @sharevaarnita. Akun ke tiga setelah aku pertama dan kedua sudah di blokade. Akun yang bermetamorfosis dari akun pertama @evaarnita kemudian akun kedua @earnita dan sekarang jadi seperti itu. Nah, alay kan gue, suka ganti-ganti nama akun. Hehehe



Menangisi Diri Sendiri

Menangisi Diri Sendiri


Bila jiwa telah terlepas dari raga
Dan ruh hanya mampu menatap pasrah
Ia membisikkan pada jasadnya
"Izinkan aku meninggalkanmu"

Sang jasad pun hanya mampu menangis
Menjawab kepergian dari ruh yang dicintainya
Katanya, "aku akan bertanggung jawab sepenuhnya"
Tentang dosa, doa, dan seuntaian khilaf yang sempat berhamburan

Penyesalan tak lagi ada guna
Ruh dan jasad telah pergi masing-masing
Menghadap Sang Pemiliknya
Dengan tatap malu membawa dosa yang berlebih

Andai saja sisa umurnya panjang
Waktu tak akan dibuang sia
Tapi semua telah terlambat
Hingga harumnya dunia terasa sirna

Mari menangisi diri sendiri
Membawa bekal yang kurang terkendali
Menggiring siksa yang sudah ditanam sendiri
Lupa akan dunia yang sebenarnya

Kata andaisaja pun tak dikenal
Tangisan mendera pun terabaikan
Semua telah kembali
Ke pangkuan sang Ilahi

***