Minggu, 06 September 2015

Berakhir Indah

Untuk kali ini, aku tak merasa sedang bersembunyi. Dan untuk kali ini, aku tak merengek memintamu kembali, dan aku pun juga berharap dirimu tak pernah datang lagi dan kembali lagi. Semua telah jelas, semua telah menjadi biasa, dan semua telah kembali ke awal. Perasaan itu sirna, kosong, dan hampa. Hanya bahagia yang tersisa, tak ada lagi ingatan tentangmu yang tak enak dirasa. Karena semua tentangmu adalah tentang kebahagiaan. 

Terima kasih pernah hadir di dalam waktu yang singkat ini. Banyak hal yang selalu kupelajari dari semua peristiwa yang pernah aku dan kamu alami. Satu hal untukku darimu dan untuk yang lainnya, bahwasanya aku selalu merasa bahagia bila melihat orang bahagia. Semoga kehidupanmu dan kehidupanku makin bahagia, karena aku dan kamu tak lagi saling menyakiti satu sama lain. 

Kamis, 03 September 2015

The Face

Di dunia ini sudah berbagai macam muka bertebaran. Ada muka polos, muka malaikat, muka dua, muka tembok, dan bahkan tak punya muka, lebih parahnya lagi kalau cari muka. Muka-muka yang sulit ditebak secara visual. Muka-muka yang pandai berdrama. Di antara itu semua, kalian memiliki muka yang mana?!

Kiamat Rindu



Di saat langit menjadi buta
Aku tak bisa melihat apa-apa
Selain rindu yang hadir di pelupuk mata
Rindu yang terus bergelayut
Dan mencolokku tiba-tiba

Perih tak lagi dirasa
Sakit hanya tinggallah belaka
Aku sudah mencoba mengatasi
Kerinduan yang panjang ini
Tak tak pernah berhasil

Kerinduku kepadamu telah menjadi juara
Bahkan apabila langit membuka mata
Kerinduan itu tak terkalahkan
Makin mencerahkan

Sebab rindu adalah rotasi
Yang terus berputar di dalam pikiran dan sebuah perasaan
Hingga nanti kerinduan itu terhenti
Kutemukan dirimu sudah kiamat bagiku
Kiamat Rindu 

***
Arnita

Sabtu, 29 Agustus 2015

Just My Imagination

Awalnya mungkin tak pernah mengira, tak pernah terbesit rasa ragu, tak pernah menyangka bakal ada hal buruk, dan tak pernah lainnya yang tak pernah terpikirkan. Semua itu terangkum atas dasar percaya. Percaya pada satu jiwa. Yang entah siapa tak diketahui wujudnya.

Di dalam hidup ini, memang tak semua orang dapat dipercaya, namun tak semua orang juga dapat menjaga rahasia. Hidup ini pilu. Ketika rasa percaya, dikhiananti mentah-mentah. Dan rahasia, bukanlah suatu rahasia, melainkan hanya ucapan belaka yang disimpan dan kapan saja dapat ditumpahkan.

Dalam kehidupan ini rasa percaya akan tumbuh jika sudah benar-benar melihat, utuh. Tapi jangan lupa, ada sesuatu hal yang tak terlihat namun dapat dipercaya. It's imagination. Dan kamu seperti imajinasi. Imajinasi yang hanya hidup bukan di dunia sebenarnya. Imajinasi yang selalu menampung semua cerita meski dicelupkan ke dalam bejana yang berlubang. Sia-sia. Dan itu sulit dipercaya. Karena kepercayaan yang sulit dipercaya adalah kepercayaan yang dikhiananti orang yang dipercaya. Just it.

Rabu, 26 Agustus 2015

New Love

Setiap pagi saya selalu menemukan cinta yang baru. Cinta yang disisihkan secara cuma-cuma oleh sebagian orang. Cinta seorang bapak yang mengantar anaknya sekolah, cinta seorang abang gojek mengantar penumpangnya, cinta seorang tukang parkir menjaga kendaraan yang dititipkannya. Dan cinta siapa saja yang dapat diakatakan cinta, meski bukan berarti makna cinta sebenarnya.

Cinta itu unik. Dapat hadir oleh siapa saja dan sebab apa saja, entah karena pekerjaannya kah, karena eksistensinya kah, atau karena yang lainnya yang membuat diri menjadi semangat karena faktor cinta. 

Cinta itu menarik, seperti melihat seseorang tersenyum yang mampu menciptakan kebahagiaan bagi orang yang melihatnya. 

Dan semuanya adalah cinta yang sederhana, yang menjadikan keikhlasan sebagai bahan utamanya. Karena ikhlas membuat cinta selalu baru dan tersirat.

***





Senin, 24 Agustus 2015

Sepi

Kalau dipikir-pikir, hidup itu sepi ya, jika tidak ada komentar dan perbincangan. Hidup terasa sepi itu ibarat sosial media, cuma bisa melihat postingan orang lain, retweet postingannya atau like postingannya tapi tanpa memberi komentar dan tanpa ada perbincangan atau sekedar chat biasa. Kayak di blog gue aja, gak ada yang komentar dan pastinya gak ada perbicangan, sepi. Makanya buat para pembaca, beri komentarnya dong di sini, jangan beri komentar lewat chat pribadi. Hehehe 

Hidup itu kayak hidup di sosial media, ada yang hidupnya selalu pamer dengan postingan-postingannya tapi giliran diberi komentar malah gak ada balasan, hidupnya cuma untuk pamer dan gak terima perbincangan. Ada juga yang hidup di sosial media hanya untuk dagang, yang seperti itu mungkin dapat dikatakan "hidup", selain selalu dikomentari dan tentunya selalu ada perbincangan meskipun perbincangan di sini hanya untuk penjual dan pembeli yang berminat, kalau tidak berminat, maka sepilah hidupnya. Ada juga yang kehidupannya ramai, tapi sayangnya hidupnya terasa ramai jika di sosial media saja alias hanya di dunia maya, selebihnya hidupnya sepi di dunia nyata.

Hmm... pasti masih pada bingung ya ini tulisan absurd apa?

Jadi, intinya hidup itu sepi jika tanpa perbincangan. Kayak tempo hari di salah satu stasiun di Jakarta, kelihatannya sih ramai pengunjung, tapi suasana di sana justru sepi. Karena mereka memiliki dunia ramai yang tersendiri; dunia maya. Dan yang lebih gak enaknya lagi, di dunia nyata terasa sepi, di dunia maya juga ikutan sepi. Gak ada kehidupan yang menarik. Memang begitulah, kalau hidup tanpa ada komunikasi dengan orang lain. 

Minggu, 23 Agustus 2015

Tetapi

Ada beberapa hal di dalam hidup gue yang belum terlaksana dengan rapi dan menawan. Sesuatu hal yang sangat gue inginkan tetapi belum tercapai. Ini bukan soal cita-cita, juga bukan kisah asmara, tetapi soal minat yang terpendam lantaran malu untuk merealisasikannya. 

Barusan gue membaca sebuah tulisan dari penulis yang sedang cetar di khayalak pecinta puisi; M. Aan Mansyur. Di dalam tulisannya, gue menemukan sebuah kalimat yang renyah pas dibaca, "Tetapi, kau tahu, hidup selalu punya tetapi."

Kembali ke awal, ada beberapa keinginan dalam hidup gue tetapi belum ke taraf pencapaiannya. Salah satunya adalah gue ingin baca puisi. Udah gitu aja. Jujur, gue menikmati semua puisi dari berbagai penulis, terkenal gak terkenal atau bagus gak bagus. Karena bagi gue, puisi itu adalah kejujuran. 

Waktu gue kelas 3 SMP, memang sudah diwujudkan. Gue baca puisi di depan teman-teman sekelas gue. Di luar kelas, di lapangan bulu tangkis di depan kantin, dan di samping kolam ikan, sedang praktek musikalisasi puisi, pelajaran Bahasa Indonesia. Gue beserta teman sekompok maju di depan guru dan teman-teman, awalnya bukan gue yang ditunjuk untuk membaca puisi saat sesi baca puisi sendirian, namun sesaat ingin tampil, justru gue yang ditunjuk tiba-tiba. Spontan, gue menghafal puisi buatan teman gue, dan kemudian saat eksekusi, puisi yang baru beberapa menit gue hafal malah hilang semuanya. Akhirnya, gue harus merombak di saat gue berdiri dan membaca puisi. Yang awalnya puisi teman gue, berubah jadi puisi dadakan ala gue. Syukurnya, semuanya hening akan penampilan gue saat itu. Entah hening karena apa. Hohoho... 

Lepas dari bangku SMP, sebetulnya gue selalu ingin ikut perlombaan baca puisi, nulis cerpen, dan lain-lainnya yang berhubungan dengan dunia sastra. Tetapi, semua hanyalah keinginan belaka. Bisa menginginkan tetapi tidak bisa menentukan. Alhasil, gue selalu memandang dari jarak kejauhan bila melihat teman-teman sedang lomba baca puisi dan berdiri di lapangan sekolah pas tempat pembina upacara menyampaikan pidatonya. Dalam hati selalu bersuara, "kapan lo berani tampil ke depan?"

Dan sekarang, gue masih malu untuk tampil ke depan, padahal banyak perkumpulan teman-teman se-takdir yang ditakdirkan suka dengan puisi. Itulah keinginan gue; gue ingin baca puisi. Menyampaikan kejujuran lewat kata per kata dan intonasi, memberikan pesan pada bait yang didengarkan dan memekik rindu pada semua kejujuran. 

Namun semua hanya keinginan yang masih disisipakan kata "tetapi". 

Jumat, 21 Agustus 2015

Di Dalam Perpustakaan

Di Dalam Perpustakaan


Sepasang muda-mudi duduk berkerumun
Beberapa bangku ditemani meja yang anggun
Tak ada suara, hanya pergerakan tangan yang berlari
Muka pucat, pening, dan gundah yang terlihat
Setumpuk tugas alasan mereka tak berkutat

Dengan penuh kekhidmatan
Buku-buku di dalam rak pun ikut bersorak
Menyaksikan wajah-wajah kebingungan
Menyangkal bahwa mereka sungguh belajar

Kasihan memang anak Indonesia
Diberi beban tugas bak ukuran gunung
Ditaruh di pundak dan dalam otaknya
Dibawa kemana pun beban terselubung

Terus memegang kepala
Rasanya seperti balon yang makin mengerat
Siap meledak!

Di dalam perpustakaan 
Tak lagi ada rasa penyejukan
Mereka panas dengan tugasnya
Sementaraku dingin karena melihatnya

***




Rabu, 19 Agustus 2015

Rasa cinta berbagai versi

Cinta Sebelah Mata

Jika pagi ingin menyapa. Kerumunan kabut pun
mengelilinginya. Membuat pandangan kabur sejenak.
Menghela napas secara jeda. Menunggu dengan tabah.
Menyaksikan kabar baik dari kedatangan matahari.
Matahari pagi penghangat sepanjang hari,
yaitu kamu.



Mungkin sajak di atas dikhususkan untuk mata kanan salah seorang teman yang belum menyadari keberadaan mata kirinya. Dia melihat cinta sebelah matanya, bak seseorang yang terlalu menggilai kedatangan pagi. Rela menunggu demi kabar baik dari sang mentari. Dan rela mencuri waktu demi ingin melihat sang penghangat pagi. Padahal boleh jadi mata kirinya menghambakannya untuk tertidur, pulas bermain di alam mimpi, dan membiarkan matahari sudah terlihat tanpa perlu menunggu kedatangannya. Toh matahari akan selalu datang meski tak ditunggu. Namun bukan itu alasan terkuatnya. Bahwasanya melihat matahari datang perlahan-lahan adalah waktu yang paling indah dalam proses penghangatannya. Dia menyukai matahari yang selalu datang tepat waktu dengan segala pesonanya. Dan matahari itu adalah kamu, seseorang yang disukainya.

Entahlah, harus berapa lama lagi sepasang telinga menjadi saksi cerita akan mataharinya. Dan harus sampai kapan menahan muak melihat wajahnya merona jika mengingat mataharinya. Konon katanya, orang yang sedang mengidap cinta sebelah mata sama seperti orang yang menjejali cinta buta. Tak bisa melihat sepenuhnya, hanya indera perasa saja yang dibekalinya. 

Bahkan ada juga yang terjangkit dengan cinta diam-diam. Bicara cinta ini memang tak akan habis versinya, meski kebanyakan ceritanya sama. Beralih dari mataharinya yang sama sekali belum melirik kepadanya. Miris sih, tapi biarlah sepasang matanya berdamai secara bersamaan. Kita doakan saja semoga nantinya akan baik-baik saja akhir dari cinta sebelah matanya. 

Di sisi lain, saya ingin memutar cerita salah seorang teman yang justru menekan suaranya di dalam diam, menekan perasaannya di dalam hati, tak terdengar sama sekali, padahal orang yang disukainya adalah kerabat dekatnya sendiri. TIpe orang seperti ini memang pandai bermain wajah di depan orang lain dan di depan orang yang disukainya, namun di dalam batinnya, dia tak dapat menipu dirinya sendiri. Sebut saja dia Marlena. Gadis perempuan yang sudah geregetan akan tingkahnya. "Tinggal bilang suka saja kok ribet. Toh ke teman dekatnya, kan?" 

Hmm.. memang sih sebagian perempuan masih terbilang gengsi dan malu soal menyatakan perasaannya terlebih dahulu. Tapi kan tak ada salahnya juga, daripada terus menikam dirinya sendiri, memenjarakan perasaannya, dan menelantarkan pikirannya. Bahkan yang lebih bodohnya lagi adalah menyuruh teman yang lainnya untuk bersedia didekatkan dengan orang yang disukainya. Itu mah sama saja bunuh diri perlahan-lahan, mbok ya kalau suka ojo begitu, itu juga sama saja menyakitkan diri sendiri meski dari sisi luar terlihat bahagia.

Ini ceritanya si Marlena suka dengan kerabatnya yang bernama Sabari. Namun karena Marlena merasa tidak cocok dengan Sabari, lantaran dia pikir Sabari lebih baik bersama Syifa saja. Syifa terlihat lebih sempurna untuk mendampingi Sabari. Begitulah jika perasaannya yang menggebu justru menjadi debu. Tak ada rasa percaya diri, padahal bisa jadi, Sabari juga menyukai Marlena. Cuma perasaan Sabari seperti namanya, masih sabar dalam bentuk rasa sukanya. Atau jangan-jangan Sabari juga berpikir bahwa Marlena lebih baik tidak bersamanya? Haduh, ribet sekali perkara cinta ini. Rasanya ingin menarik Marlena dan Sabari, menekan mereka agar menyuarakan perasaannya. Jika yang satu suka dan yang satunya lagi juga suka, yasudah. Jika yang satu suka namun yang satunya tidak suka, yasudah. Sederhananya cinta adalah kejujuran tanpa harus mengaitkan orang ketiga yang tak bersalah.

Sayangnya, itu semua adalah khayalan. Mengkhayalkan Marlena mengatakan perasaannya ke Sabari. Tapi kenyataannya tetaplah sama. Biarlah Marlena sendiri yang akan mengarahkan perasaannya. Toh dia lebih tahu bagaimana dirinya. Sebagai seorang pendengar, kewenangan kita adalah mendengarkan, memberikan sepasang telinga sepenuhnya dan juga memberikan sepatah kalimat jika dimintanya. 

Soal cinta memang terdengar rumit, namun sejatinya cinta itu adalah hal yang sederhana. Menyatukan pendengaran, penglihatan, dan perasaan dengan baik. 

***

NB: Marlena, Sabari, dan Syifa adalah nama yang tidak sebenarnya. 








Selasa, 18 Agustus 2015

Kamu

Seharusnya kemarin, tepat di tanggal delapan belas. Di mana angka yang selalu membawa pada kenangan manis. Delapan belas september dua ribu sembilan, itulah pertama kali aku dan kamu bertemu. Di salah satu bangku penumpang yang berhadapan, aku dan kamu terjalin dalam sebuah perkenalan semu. Ingatkah saat itu bagaimana wajahmu pertama kali kulihat? Dan ingatkah kamu akan sebuah senyuman yang tak sengaja aku berikan? Di gerbong tiga dari belakang, aku menghitung jarak perpisahan dan harapan. 

Tak ada acara saling tukar kontak, namun selang sebulan aku dan kamu terpisah karena tujuan kota yang berbeda. Kamu datang bak hantu yang bergerayangan. Di sekolahku saat itu, dua kali aku dan kamu bertemu. 

Dan waktu terus mengeratkan di antara dua muda-mudi yang sudah saling menyukai. Namun, waktu juga yang telah merenggangkannya. 

Bersabarlah... sejauh aku dan kamu terus menanti seperti dulu. Akan ada waktu di mana nanti aku dan kamu bertemu dengan yang sudah ditentukanNya. 

Goresan luka di dalam rumah

Saya tidak hidup di dalam keluarga yang sempurna. Tiap harinya selalu ada rasa pedih yang tertahan di dada, bahkan jika sampai mendidih sekalipun, saya tetap akan menahan perasaan saya. Tak ada gunanya menangis, tak ada gunanya mengeluh, dan tak ada gunanya saya berbicara, karena memang tak ada tindakan atau perkataan yang lebih baik dibanding hanya diam saja.

Tak ada lagi kemampuan saya selain berusaha memejamkan mata bila suatu perkataan kasar dan tajam terlontar begitu ringannya dari mulut sang wanita bernama Ibu. Ada rasa marah, sedih, kecewa, dan lainnya yang membuat saya selalu ingin menjauh darinya. Kalau bukan karena ayah, mungkin tak akan berpikir dua kali untuk pergi dari rumah.

Sosok ibu telah hilang dari hidup saya, meski tidak sepenuhnya hilang, namun saya merindukan sosok ibu yang kata orang itu lemah lembut, penyayang, dan lainnya yang baik-baik. Kalau boleh jujur, saya tidak punya sosok ibu seperti ibu kalian yang seringkali kalian banggakan. Tapi, saya mempunyai sosok ayah yang seringkali membuat saya bangga terhadap dirinya. Ketabahannya, ketegarannya, dan kesabarannya. Saya tak pernah tahu, alasan apa yang membuat dirinya sebegitu tahan dengan pembicaraan-pembicaraan yang tak enak di rumah. Entahlah, harus berapa lama lagi saya berharap mereka tak satu tempat tinggal. Karena sepasang telinga dan mata ini juga butuh kedamaian di dalam rumah. Dan kedamaian hanya tercipta jika di antara mereka menuntut adanya perpisahan. Karena saya berpikir, di antara dua orang yang terus bersama namun tidak ada keharmonisan di dalamnya, maka tidak bersama lebih baik jika dengan hal itu mampu menciptakan sebuah keharmonisan. 

***

NB: Saya bukan berarti saya (asli). 



Kamis, 13 Agustus 2015

Sadar Diri

Pada suatu waktu bila pikiran tertuju pada sebuah dosa, kematian dan alam akhirat. Menyingkirkan sejenak serba-serbi kehidupan dunia dan anganan tentangmu. Ada rasa khawatir, takut, dan juga sedih yang tak terbayangkan, "bagaimana nanti kematianku?" 

Ditambah lagi jika pikiran tersebut dibayangkan oleh wajah-wajah orang yang disayangi; orang tua. Rasanya ada perih yang menyobek bila memikirkan kehidupan akhirat. Berpikir bila diri ini nantinya akan tinggal sendiri di dalam tanah, tanpa ada cahaya, dan tanpa ada penolong siapapun kecuali amalan-amalan yang dibekali dengan kebaikan. Lantas, bagaimana jika amalan tersebut lebih ringan timbangannya dibanding amalan-amalan buruk semasa di dunia? Jujur, sebagai manusia yang kerap masih melakukan dosa namun sadar itu adalah dosa, rasa takut itu seakan terus menghantui, takut masuk ke dalam tempat yang paling jahanam. Terlebih bila sudah memasuki dunia akhirat, tak ada lagi pengulangan atau tak ada gunanya lagi penyesalan bila amalan buruk di dunia ditimbang lebih berat. 

Alam akhirat begitu abadi dan siksa kubur teruslah menanti. Lalu, bagaimana dengan diri? Apakah sudah siap bila Izrail menghampiri? 

Satu lagi untuk kalian yang sudah membaca postingan ini, ingatkanku bila ada kesalahan yang musti diperbaiki, nasihatkan aku dikala sendiri, dan sadarkanku akan selalu tentang mati. Karena aku seringkali lupa akan hal ini dan masih terlena oleh kehidupan dunia yang semu, yang lebih banyak menawarkan untuk pergi beranjak menikmati suguhan ciptaanNya namun justru melupakanNya. 

****

Senin, 10 Agustus 2015

Belajar Makna Kehidupan Dari Sang Fotografer

Sebelumnya saya sudah meminta izin untuk menuliskan tentangnya dan beberapa hasil fotonya. Namun tidak diwawancara lebih lanjut, karena dirasa sudah cukup toh gak banyak yang akan ditulis.

Namanya Bang Dzoel, fotografer dari Banyuwangi. Sekilas saya melirik kepada sosoknya, ada satu hal yang langsung muncul di dalam benak saya; Syukur. Rasa syukur itulah yang membuat saya untuk terus mensyukuri hal apapun yang sudah diberikan Allah. Dan dengan bersyukur pula, mungkin Bang Dzoel mengawali kariernya masuk ke dunia fotografi. 

Dalam bidang apapun, acapkali kita juga menemukan sosok seperti Bang Dzoel, sosok orang yang mampu memberikan makna akan sebuah kehidupan. Bahwasanya hidup itu memang harus disyukuri atas pemberian Allah dan juga dijalani dengan lapang dada serta dibumbui semangat untuk terus melanjutkan hidup. Jangan salah, mungkin kebanyakan orang yang mempunyai fisik yang sempurna selalu memberikan sapaan negatif kepada yang (maaf) fisiknya tidak sempurna, padahal belum tentu fisik yang sempurna lebih baik daripada yang tidak sempurna. Lagipula juga banyak yang mengeluh kepada Allah padahal sudah diberikan fisik yang sempurna, duuuuh.... apa gak malu tuh? 

Ngomong-ngomong tentang Bang Dzoel sebagai fotografer kece (lihat dong gaya fotonya ✌), ini adalah beberapa hasil jepretan dari Bang Dzoel:



Cukup dua saja kayaknya yang dipajang di sini, selebihnya bisa melihat ke akunnya Bang Dzoel. Oh ya, untuk yang bersangkutan terima kasih karena telah mengingatkan kembali khususnya diri saya sendiri, untuk terus bersyukur dan semangat dalam menjalani hidup. Karena kemajuan seseorang dalam hidup bukan berdasarkan fisik yang sempurna atau tidak, melainkan niat dan ketabahan dalam usaha dan doanya. 


***



Email Cinta?

"Email Cinta? Kenapa bukan surat cinta aja, sih?" 

Surat dan email itu beda, Bro. Kalau surat pastinya tulis tangan asli di selembar kertas atau beberapa kertas kemudian dikirim ke orang yang dituju baik melewati pos atau dikirim langsung ke orangnya. Sedangkan email yaitu surat elektronik, tulisannya diketik dan dikirim ke alamat email yang dituju. Namun karena akhirannya adalah cinta, email cinta atau surat cinta, maka isi dari pesan yang disampaikan adalah membahas tentang cinta. Entah itu hanya menyatakan perasaannya atau lebih daripada itu, nembak lah istilahnya.

Dalam sejarah hidup gue sampai sekarang, pertama kali gue nerima surat cinta pas masih duduk di bangku SD namun gak gue tanggapi. Berlanjut ke bangku SMP, ini adalah kisah cinta pertama gue melalui surat. Gue pernah kirim surat cinta ke satu cowok seangkatan sama gue alias seumuran tapi beda kelas. Isinya sih peraturan-peraturan selama jadian (Yups! It's my first love), karena di jaman itu, gue masih belum diperbolehkan pegang ponsel, akhirnya melalui surat. Itu pas masih baru kelas tujuh. Di akhir masa SMP (udah putus sama yang tadi), gue pun masih tetap menggunakan surat sebagai media menyampaikan perasaan, padahal pas kelas sembilan, gue udah punya ponsel, cuma masalahnya, cowok yang ditaksir selama dua tahun itu, gue gak punya nomor ponselnya. Mau minta ke teman dekatnya aja gue malu, apalagi ke orangnya langsung. Hehehe. Di sini sih teman-teman gue pengin ikut cari tau nomor ponselnya, tapi gue nya juga gak mau sih (kalau kata lagu sih mau tapi malu). Dan akhirnya untuk pertama kali gue menyatakan perasaan gue terlebih dahulu melalui surat ke orang yang dituju, namun di tengah perjalanan sebelum kasih surat ke orang yang dituju, gue malah berhenti separuh jalan. Alhasil surat tersebut gue buang ke tong sampah sebelum dikasih ke orang yang dituju. Huhuhu .....

"Gue berpikir saat itu kayaknya belum saatnya deh, lagipula gue kan cewek, masa menyatakan perasaan terlebih dahulu?" begitulah bisikan-bisikan halus saat itu. 

Terlewat dari surat tersebut yang lupa gue robek terlebih dahulu, teman-teman cowok gue pun ternyata ada yang mungut surat itu (entah tuh teman gue bakat jadi pemulung atau gimana) dan yang lebih mengenaskannya lagi adalah yang mungut malah teman gue yang mulutnya kayak ember bocor. Saat itu gue gak tau deh mau ditaruh di mana muka gue yang udah kayak bawang merah. Padahal di surat tersebut gak ada nama pengirimnya, tapi karena tulisan gue mudah terdeteksi maka dengan mudahnya teman gue menduga surat tersebut dari gue. Oh ya, yang mungut itu teman sekelas gue, makanya mudah kenal tulisan gue. Pffft!!! Mungkin rasanya lebih persis maling yang ketangkap basah. 

Sejak saat itu, gue jadi baik-baikin teman cowok gue tadi, berharap gak mendobrak isi surat gue ke yang lainnya, ya meskipun teman-teman sekelas gue jadi tau semua. 

Singkat cerita setelah lulus SMP dan masuk ke sekolah berikutnya. Gue mengubur masa-masa tragedi surat cinta yang membuat uang jajan gue jadi terbagi ke teman cowok tadi. Selang beberapa minggu masih menghirup kehidupan baru di sekolah baru, gue pun agak kaget sejenak pas buka sms dari ponsel gue, ternyata oh ternyata dari cowok yang gue taksir selama dua tahun itu. Lo tau rasanya saat itu? Mungkin kayak ice cream mencair, deh. Meleleh mendadak gue. Satu sama lain jadi saling kenal dan makin mengenal, sampai akhirnya bahas mengenai surat yang tempo dulu gagal dikasih ke orangnya. Yang lebih mengejutkannya lagi sih, gue dan dia sama-sama menyimpan perasaan yang sama dalam tempo waktu yang sama. Dan kita pun (kayak) jadian. Itu pertama kalinya gue pacaran lagi di bangku SMK. 

Tapi semua gak lama seperti perasaan yang pernah tersimpan. Mungkin dalam hitungan dua atau tiga bulan semua terhapus begitu saja. Dan gue kenal dengan sosok baru yang menggantikannya, selama masa SMK bahkan sampai dengan lulus, gue justru bertahan dengan satu orang yang sebelumnya gue juga gak kenal tapi asik diajak ngobrol dan nyambung. Pas sama yang ini, gue juga pernah saling balas-balasan pesan lewat surat. Meskipun keduanya punya ponsel, tapi tulis tangan itu kayak ada different feel aja pas baca isinya.

Terlepas dari itu semua. Mungkin di jaman sekarang, sudah bukan jamannya lagi menyatakan perasaan lewat surat, kudu tulis tangan, capek (mungkin). Makanya deh alternatifnya adalah melalui surat elektronik alias email. Isi pesannya menyangkut soal perasaan, makanya disebut email cinta. Nuhun ya, gak gue screen capture, karena itu kan privasi. Hehehe. Dan sekarang juga kudu bisa menjawab dengan tepat dan sopan. Karena semakin dewasa tingkat kepribadian seseorang, maka hal yang dinyatakan lewat perasaan adalah hal yang menjorok pada jenjang keseriusan. 

Melalui email cinta ataupun surat cinta, apapun itu sampaikanlah perasaan dengan tulus dan jujur. Tapi kalau memang dirasa belum tepat menyampaikannya, tahanlah sebentar, karena buah kesabaran itu manis. 

***





Sabtu, 08 Agustus 2015

Dirgahayu, Cibeno!

Cie... cie... yang sudah berkepala dua, alias sudah umur dua puluh tahun. Apapun itu, gue sebagai sahabat lo (kalau dianggap sahabat) senantiasa (kaku banget ye bahasanya 😂) selalu berdoa untuk kebaikan lo. Maaf ya, mungkin gue gak sama kayak teman-teman lo yang melakukan ritual ulang tahun, hehe ... you know me, laah ...


Gue sih sebenarnya gak nagih traktiran, Ben. Cuma, ya kalau lo paham mah pasti neraktir tanpa harus dipalak dulu, kan. Hehehe. Anggap aja itu salah satu bentuk syukur lo, Ben. Lagipula kan lo udah PKL, Ben, jadi gak ada alasan gak punya duit. Hahahaha... ini ceritanya gue maksa banget ya?

Lagian sih lo, kalau sama teman-teman yang lainnya, pakek segala update di path, nongkrong di tempat makan ini, itu. Tapi giliran mau nongkrong bareng gue, alasannya gak punya uang, bokek. Dasar lo, Ben. 😂

Eh Ben, walaupun lo udah genap dua puluh tahun, kayaknya pikiran lo lebih dewasa deh daripada gue. Apalagi kalau bahas cinta, gue selalu diceramahin panjang lebar dan lo lebih tau gue kalau lagi gak mood, pasti ngajak gue ke minimarket beli cokelat atau ice cream, tapi ujung-ujungnya ya itu, pasti gue yang bayarin. Haha.

Hmm... apalagi ya? Gue sih bersyukur Ben, bisa sahabatan sama lo. Teman sewaktu kecil sampai dengan sekarang, ya meskipun gue masih belum bisa mengungkap kebenarannya, kalau lo beneran punya darah orang Cina atau enggak? ✌

Hmm... berhubung masih di tanggal lahir lo, gue sangat berharap lo bisa mengatur waktu lebih baik, buat teman dan juga keluarga lo. Kan kasihan tuh duplikat lo alias adik lo, gak ada yang ngajak main. Hohoho ....

Wish you all the best, Cibeno. Makasih ya udah jadi salah satu sahabat terbaik gue.


Jumat, 07 Agustus 2015

Bahas Mantan

Pagi ini ceritanya lebih menghabiskan waktu bermain di dunia twitter, celingak-celinguk ke beberapa akun dan menemukan potongan tweet mengenai mantan. 

Kata mantan di sini identik dengan seseorang yang pernah mengisi hati alias sosok kekasih pada masa lalu. Gak semua orang punya mantan kekasih, kalau mantan gebetan mungkin semua orang punya, apalagi mantan cem-ceman semacam kayak gebetan tapi bukan gebetan. Nahloh, apaan dah tuh. 

Ngomong-ngomong tentang mantan kekasih, biasanya itu lebih mirip kayak mantan sekolah. Kenapa? Karena sekolah dianggap bagus bila kita sudah lulus darinya. Paham?

Dan kemudian, pastilah terselip berbagai kenangan, rasa apapun ada di dalamnya; asem, manis, pahit, asin, bahkan hambar. Mantan telah mengajarkan tentang gado-gado ala perasaan. 

Sebenarnya banyak hal yang ingin dituliskan mengenai mantan. Tapi kenapa jadi mendadak bingung begini ya?

Hmmm.... oke...oke. Buanglah baper pada tempatnya. 

Mantan, ya? Biasanya orang selalu menanyakan, "mantan lo ada berapa?" Semakin banyak angka menjawabnya, biasanya justru dibilang playgirl atau playboy. Padahal gak selamanya orang terinfeksi virus tersebut (baca: playboy/playgirl). Apalagi kalau ada yang bilang belum pernah pacaran, biasanya langsung dibilang gak laku lah, gak normal lah, atau apalah-apalah lainnya. Padahal, gak semua orang sama seperti yang dibilang orang lain. Malah kalau boleh jujur mah, mending gak usah pacaran deh, enak! Gak usah nanggung beban apa-apa, beban kenangan gitu misalnya. 

Lantas, nulis apa lagi ya? Jadi makin bingung kalau bahas mantan. 

Disfungsi Buku

Pernah gak sih kalian menyesalkan karena ada suatu benda yang diinginkan tapi gak jadi dibeli. Kalau pernah merasakan begitu berarti samaan kayak saya. Hohoho.

Kemarin ceritanya saya sedang beli somay di dekat rumah. Karena masih antri, saya pun memanjakan sepasang mata saya untuk melihat-lihat ke arah ibu pedagang somay dan apapun barang dagangannya. Lantas terkesima dengan satu buku yang tergeletak di samping panci tempat bumbu somay diletakkan. Saya pun menghampiri dan melihat buku tersebut, "Argh... ini kan buku yang dicari." Salah satu buku langka karya Ayu Utami dalam genggaman tangan saya yang sudah ternoda oleh bumbu somay dan minyak yang menempel, belum lagi pas dilihat bagian akhirnya sudah banyak yang dirobek paksa. Kayaknya sih untuk bungkus kertas gorengan. Huft... batin saya menyesali. Andai kata buku tersebut masih dalam keadaan utuh meski kondisinya sudah tak lagi suci, saya berniat untuk membelinya. Tapi apalah daya, saya hanya membuka lembar demi lembar yang sudah ditembus oleh minyak.

Fenomena begini kayaknya bukan hal tabu lagi deh, di mana para pedagang yang biasanya menyobekkan kertas adalah kertas dari buku-buku langka alias buku-buku lama. Duh...meskipun sudah buku lama,kan masih ada juga yang mencari setengah ngos-ngosan buku tersebut. Huh ... .... ....

Patut disesalkan sih sebenarnya, mau seberapa tua buku tersebut,ada baiknya dijadikan koleksi yang bisa dimanfaatkan untuk dibaca kembali atau dibaca orang lain. Buku itu meski dibilang sudah tak ada gunanya, tidak membuat sifat buku hilang maknanya.


Sedikit Tentang Saya

Setiap orang mempunyai sisi gelap dan terang, entah banyak atau sedikit porsi keduanya. Di dalam tulisan ini adalah sedikit tentang saya yang akan diceritakan dari sisi gelap atau kurang menyenangkan. Soal kegundahan dan keterpaksaan yang selalu dijalani sampai batas waktu yang terbilang tak akan diketahui masa habisnya.

Saya, kata sebagian orang adalah seseorang yang apabila diam itu berarti dia sedang marah, dilengkapi dengan mimik wajah yang tak biasanya terlihat ceria. Kata sebagian orang, hidupnya itu penuh khidmat dan lepas. Namun semua itu adalah pandangan luar dari segelintir orang yang melihat sekejap. 

Saya. Saya merasa hidup ini seperti pengasingan. Di mana semua orang di dalamnya adalah orang asing bagi saya, yang menempatkan diri saya dalam sebuah fondasi pengekangan. Rasanya hidup itu tak lagi membentang luas bak seseorang yang baru saja melihat keindahan alam dunia, melainkan terasa sempit dalam dunia asing tersebut. 

Sebuah pengasingan yang membentuk langkah saya menjadi terhimpit untuk berlari cepat, dengan ramuan penuh kekangan yang masih saya adopsi. Seringkali dalam dunia ini, saya tidak menemukan diri saya sendiri. Layaknya bayangan yang tak ingin menuruti wujud aslinya. Pagar yang bernama kekangan itulah yang tak bisa saya loncati, menikam diri sendiri dari dunia sendiri. Itulah sisi terpencil dari dunia saya, yang membuat saya harus rela dan terpaksa menjalaninya juga mampu membuat saya berpura-pura menapaki dunia yang lainnya. Dunia kamu dan dunia mereka. 

Kamis, 06 Agustus 2015

Bila Nanti Dunia Kita Beda

Bila nanti dunia kita beda
Melampaui ruang dan waktu yang tak sama
Sisipkan rindumu lewat sebuah doa
Yang kau endapkan halus dalam untaian kata

Bila nanti dunia kita beda
Bahagiakanlah dirimu utuh
Sandungkanlah ungkapan merdu
Dan ringankanlah memorimu

Bila nanti dunia kita beda
Patahkanlah cintamu yang sudah terpahat untukku
Buanglah jauh semua anganan semu
Khayalan akan satu dan selamanya

Bila nanti dunia kita beda
Kenanglah aku dalam kebaikan
Meski beribu dosa yang dibuat bersama
Tuntunlah aku dalam surgaNya

Dan bila nanti dunia kita beda
Izinkan aku untuk bahagia
Selama-lamanya  

Rabu, 05 Agustus 2015

Alay

Pagi ini pas gue buka akun twitter, terselip beberapa tweets (yang menurut gue) alay dari segelintir orang. Bahasanya sih puitis-puitis hiperbola gitu, tapi kok pas dibaca malah agak ilfil gitu ya? Belum lagi di dalam racikan kalimatnya berisi curhatan semua.

Sumpah, setelah baca sambil komat-komit "alay", gue jadi berkaca diri. "Gue alay gak ya?" Kemudian gue duduk dan terdiam, merileksasikan diri masih dengan pertanyaan yang sama, "apakah gue termasuk kategori alay?" Karena gue pun sama, kadang suka memaparkan kalimat hiperbola gitu, ya meski tulisannya sudah berbeda. Dahulu kan belum mengenal typo, kata per kata disusun tak beraturan. Kalimat besar dan kecil bergantian menempel pada satu kata, belum lagi huruf A yang seringkali diganti jadi angka 4, huruf E diganti jadi angka 3, dan seterusnya. Makanya dulu pada masa gue sekolah, gue dan kalian (mungkin) sudah terjerumus dalam dunia peralayan. Alay itu konon penyakit anak muda yang sekarang dibilang "chili-chilian alias cabe-cabean". Ya keleus, dandanan kayak gue masih dibilang begitu.*Ceritanya gak mau dibilang alay*

Kategori alay jaman sekarang itu apa ya? Takutnya sudah beda jaman, sudah ada pergeseran makna tersebut. Tapi kayaknya tetap saja sama, ya? Dibilang alay kalau tulisan kalimatnya bikin ilfil dan enek (sorry), kalimat tulisannya juga penuh typo yang bikin sakit mata, terus juga apa yang dibahas ya gitu-gitu saja, curhatan pribadi diumbar semua. Contoh: qu chayang dy tp dy gak chayang qu. Setelah tulisan, hal yang termasuk dalam katalog alay adalah pose foto. Bedakan mana pose alay dan pose narsis atau sekedar foto biasa. Kemudian juga penampilan, nah coba deh perhatikan sekelompok pemudi yang biasanya dibilang "chili-chilian", dandanannya itu lho, ckckck *geleng-geleng kepala" dan terakhir, dikatakan alay apabila tingkah lakunya ya alay. Agak-agak gimana gitu, absurd tapi sok gaul tapi ..... hmmm apa ya? Bingung nulisnya gimana. Pokoknya alay gitu lah. 

Tapi ya, fakta selanjutnya tentang alay, ternyata kalau ada orang dibilang alay padahal sudah jelas masuk ke salah satu penghuni katalog alay, mereka itu biasanya membalikkan seruan alay tersebut. Misal si A bilang ke si B, "alay lo!" Lantas si B menjawab, "lo yang alay." Padahal mereka berdua sama-sama alay tapi gak mau ngaku. Haduh...haduh. 

"Alay...alay, alay kok gak mau dibilang alay?" Ceritanya gue lagi ngomong sama orang di depan cermin.

***

By the way, di awal kalimat gue mencantumkan kata "akun twitter", bagi kalian alayers atau mantan alayers yang masih menghuni di dunia twitter, boleh kali ah follow gue, @sharevaarnita. Akun ke tiga setelah aku pertama dan kedua sudah di blokade. Akun yang bermetamorfosis dari akun pertama @evaarnita kemudian akun kedua @earnita dan sekarang jadi seperti itu. Nah, alay kan gue, suka ganti-ganti nama akun. Hehehe



Menangisi Diri Sendiri

Menangisi Diri Sendiri


Bila jiwa telah terlepas dari raga
Dan ruh hanya mampu menatap pasrah
Ia membisikkan pada jasadnya
"Izinkan aku meninggalkanmu"

Sang jasad pun hanya mampu menangis
Menjawab kepergian dari ruh yang dicintainya
Katanya, "aku akan bertanggung jawab sepenuhnya"
Tentang dosa, doa, dan seuntaian khilaf yang sempat berhamburan

Penyesalan tak lagi ada guna
Ruh dan jasad telah pergi masing-masing
Menghadap Sang Pemiliknya
Dengan tatap malu membawa dosa yang berlebih

Andai saja sisa umurnya panjang
Waktu tak akan dibuang sia
Tapi semua telah terlambat
Hingga harumnya dunia terasa sirna

Mari menangisi diri sendiri
Membawa bekal yang kurang terkendali
Menggiring siksa yang sudah ditanam sendiri
Lupa akan dunia yang sebenarnya

Kata andaisaja pun tak dikenal
Tangisan mendera pun terabaikan
Semua telah kembali
Ke pangkuan sang Ilahi

***




Jumat, 31 Juli 2015

Sebuah Kegagalan

Dalam hidup ini setiap orang siap menyantap keberhasilan, tapi tak banyak orang yang siap menikmati kegagalan. Padahal mereka tahu, bahwasanya kegagalan dan keberhasilan adalah sepasang hal yang selalu ditemui dalam kehidupan.

Dan dalam hidup ini banyak orang yang terpuruk dalam kegagalannya, entah apapun yang membuatnya gagal. Tapi juga banyak orang yang justru (pura-pura atau terpaksa) ikhlas menerima kegagalan kemudian bangkit kembali untuk memperoleh keberhasilan.

Ngomongin tentang kegagalan, sebagian orang mungkin menyalahkan Tuhan, memberikan cercaan kalau Tuhan tidaklah adil padanya. Padahal memang itulah ketentuan dariNya, mungkin saja kegagalan adalah salah satu cara mengikatkan pada sebuah tawakal dan ikhtiar.

Kegagalan oh kegagalan, banyak orang sukses telah sanggup melewatinya, membuang semua keterpurukan dari kegagalan dan akhirnya keberhasilan lah yang menjadi jawaban atas sepenuhnya doa yang dibarengi usaha dan ikhtiar serta tawakal.

Menjelang siang ini, seperti yang sudah saya singgung sebelumnya. Saya baru saja memperoleh kegagalan. Entahlah, beberapa hal sama yang saya lakukan selalu berujung pada kegagalan. Terbesit rasa sedih itu pasti. Rasa kecewa, apalagi. Tapi yang lebih mendominasi adalah rasa (terpaksa) ikhlas karena memang sudah ketentuanNya, yang terpenting sudah memaksimalkan usaha dan doa. Bukankah manusia hanya bisa berdoa dan berusaha? Dan Tuhan lah yang menentukan hasilnya. (Ceritanya lagi nulis ini sembari membesarkan hati saja biar gak kecolongan rasa sedih). Huhuhu ... .... ...

Kalau di-review lagi, kayaknya saya sudah temanan akrab dengan kegagalan deh. Urusan pekerjaan, gagal. Urusan percintaan, (nyaris) gagal. Dan urusan-urusan lainnya yang mengalami kegagalan.

Eits... sebagai orang (yang mengaku) Islam, itu semua tampak buruk bila dilihat dengan kaca mata kekufuran lho, kufur nikmat maksudnya, alias tidak bersyukur. Coba kalau kegagalan itu dihadiahkan dengan rasa syukur, pasti deh mudah ikhlasnya. Bersyukur, mungkin saja Tuhan akan mengganti sebuah keberhasilan yang lebih baik lagi.

Dan untuk seseorang juga segelintir orang yang sebelumnya telah memberikan support ke saya untuk mengakhirkan proses ini jadi keberhasilan tapi malah berakhir tidak seperti yang diinginkan. Saya minta maaf ya bila mengecewakan.


Bagi Seorang Perempuan

Bagi seorang perempuan, lebih baik dia menyimpan rapi perasaan yang sebenarnya kepada lelaki yang disukainya. Tak tahu sampai kapan perasaan itu tersembunyi, dia selalu berharap lelaki itu mengetahui dengan sendirinya. Namun, hal tersebut kadangkala tak membawa berita baik, karena biasanya perasaan tersebut harus dituntas paksa dengan kehadiran orang lain. 

Bagi seorang perempuan, tak ada gunanya menunggu lama seseorang yang disukainya yang tak  pernah sedikitpun memandang keberadaannya. Karena itu, perempuan lebih rela menyelesaikan perasaannya dengan menerima kehadiran orang lain yang justru mencari keberadaannya. 

Meski perasaan yang disembunyikan makin menikam dirinya, seorang perempuan masih tetap bisa berdrama dalam kenyataan sampai dia melihat sendiri akhir dari bayangan semu akan lelaki yang disukainya. 

***

Soal Pasangan Nanti

Kalau ditanya mau bagaimana pasanganmu nanti, pastilah banyak yang menginginkan kesempurnaan pada pasangannya, tapi justru lupa dengan ketidaksempurnaan dirinya sendiri.

Apalagi wanita, bukan hal yang jarang lagi jika mereka mampu menjawab hal demikian dengan lengkap dan spontan. Namun, kebanyakan dari mereka melihat hanya pada tampilan luarnya saja. Faktanya adalah mereka menginginkan pasangan yang ganteng, tajir, dan lainnya yang begitu perfeksionis. Dan saya pun sempat berpikiran seperti itu saat masih berada di bangku putih abu-abu jika sedang ngomongin masa depan. Anggapan tersebut biasanya hanya mampu membayangkan hidup yang indah dan enak saja. Padahal kenyataannya, banyak juga tuh mereka yang sudah memiliki pasangan yang sekiranya seperti itu namun tak bahagia sama sekali. Kasihan ya ....

Kalau dulu saya sempat berpikir begitu, sekarang pun pikiran saya tentang pasangan hanya satu jawabannya yaitu shalih. Cuma itu saja kok. Bahkan kriteria tersebutlah yang menurut saya lebih dari sebelumnya. Karena stok lelaki shalih sepertinya sudah limited edition. Dan karena saya menginginkan kriteria tersebut, otomatislah saya bercermin terhadap diri sendiri. Bahwasanya lelaki shalih patut disandingkan dengan wanita shalihah. So, sudahkah saya men-shalihah-kan diri? Jika belum, maka kuncinya adalah dengan terus memperbaiki diri.

"Lantas bagaimana dengan kehidupan sekarang yang dikit-dikit keluar uang jika yang dicari saja hanya pasangan yang shalih? Memangnya mau hidup susah?" begitulah pertanyaan selanjutnya yang biasa diterima. Gini lho dear, lelaki shalih itu pastilah akan bertanggung jawab dengan pasangannya, tidak mungkin menelantarkannya. Ia pasti akan berusaha untuk mencari nafkah. Hmm... emang kadang susah juga sih gimana menjelaskannya, kalau bicara dengan orang yang pandangannya adalah kesempurnaan hidup, bahkan soal keuangan saja perlu ditakar dan juga ada kriterianya. Pffft!!!

Mencari pasangan itu bukan hanya untuk kepentingan dunia, tapi juga memilih pasangan yang mampu membimbing ke jalanNya sampai selamat dunia dan akhirat.

Ya, harus diakui juga sih, se-pendosa-dosa nya saya, cuma itu saja yang saya inginkan. Keselamatan di dunia dan akhirat. Tapi ya namanya juga manusia, yang selalu dekat dengan kesalahan dan kekhilafan. Kadang kala lupaakan hakekat tersebut.

Oh ya, dalam memilih pasangan mungkin perioritas paling utama adalah soal agamanya. Jika yang lainnya terpenuhi, anggap saja itu semua adalah hadiah dariNya.

***

Edisi lagi "bener".




Kamis, 30 Juli 2015

Surat Untukmu, Akhi

Karena tak sanggup mengucapkannya secara langsung, kutuliskan saja surat untukmu. 


Assalamu'alaikum wr.wb

Syukur pada Allah yang masih mengaruniakan nafas padaku dan padamu untuk segera memperbarui taubat.

Akhi, rasanya aku telah menemukan Kekasih yang jauh lebih baik darimu. Yang Tak pernah Mengantuk dan Tak pernah Tidur. Yang siap terus-menerus Memperhatikan dan Mengurusku. Yang selalu bersedia berduaan di sepertiga terakhir malam. Yang siap Memberi apapun yang kupinta. Ia yang Bertahta, Berkuasa, dan Memiliki Segalanya. 

Maaf akhi, tapi menurutku kau bukan apa-apa dibanding Dia. Kau sangat lemah, kecil, dan kerdil di hadapanNya. Ia berbuat apa saja sekehendakNya kepadamu. Dan, akhi, aku khawatir apa yang telah kita lakukan selama ini membuatNya murka. Padahal Ia, Maha Kuat, Maha Gagah, Maha Perkasa, Maha Keras SiksaNya.

Akhi, belum terlambat untuk bertaubat. Apa yang telah kita lakukan selama ini pasti akan ditanyakan olehNya. Ia bisa marah, akhi. Marah tentang saling pandang yang pernah kita lakukan, marah karena setitik sentuhan kulit kita yang belum halal itu, marah karena suatu ketika dengan terpaksa aku harus membonceng motormu, marah karena pernah ketetapanNya kuadukan padamu atau tentang lamunanku yang selalu membayangkan wajahmu. Ia bisa marah. Tapi sekali lagi semua belum terlambat. Kalau kita memutuskan hubungan ini sekarang, semoga Ia mau Memaafkan dan Mengampuni. Akhi, Ia Maha Pengampun, Maha Pemberi Maaf, Maha Menerima Taubat, Maha Penyayang, Maha Bijaksana.

Akhi, jangan marah ya. Aku sudah memutuskan untuk menyerahkan cintaku padaNya, tidak pada selainNya. Tapi tak cuma aku, akhi. Kau pun bisa menjadi kekasihNya, kekasih yang amat dicintai dan dimuliakan. Caranya satu, kita harus jauhi semua larangan-laranganNya termasuk dalam soal hubungan kita ini. Insyaallah, Dia punya rencana yang indah untuk masa depan kita masing-masing. Kalau engkau selalu berusaha menjaga dari hal-hal yang dibenciNya, kau pasti akan dipertemukan dengan seorang wanita shalihah. Ya, wanita shalihah yang pasti jauh lebih baik dari diriku saat ini. Ia yang akan membantumu menjaga agamamu, agar hidupmu senantiasa dalam kerangka mencari ridha Allah dalam ikatan pernikahan yang suci. Inilah doaku untukmu, semoga kaupun mendoakanku, akhi. 

Akhi, aku akan segera menghapus namamu dari memori masa lalu yang salah arah ini. Tapi, aku akan tetap menghormatimu sebagai saudara di jalan Allah. Ya, saudara di jalan Allah, akhi. Itulah ikatan terbaik. Tak hanya antara kita berdua, tapi seluruh orang mukmin di dunia. Tak mustahil itulah yang akan mempertemukan kita dengan Rasulullah di telaganya, lalu beliaupun memberi minum kita dengan air yang lebih manis dari madu, lebih lembut dari susu, dan lebih sejuk dari krim beku.

Maaf, akhi. Tak baik rasanya aku berlama-lama menulis surat ini. Aku takut ini merusak hati. Goresan pena terakhirku di surat ini adalah doa keselamatan dunia dan akhirat sekaligus tanda akhir hubungan haram kita, insyaallah.

Wasaalamu'alaikum wr.wb 

***

Salim A. Fillah, Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan, (Yogyakarta: Pro-U Media,), hlm. 58-60.

Rabu, 29 Juli 2015

Asam Pahit Dunia Luar

Kata orang, "dunia luar itu kejam." Banyak orang yang saling sikut, banyak orang yang sudah tidak ada rasa peduli dengan sesama, banyak orang yang lupa hakekat kejujuran, juga banyak orang yang menghalalkan berbagai cara demi kepentingan perut, dan banyak orang lainnya yang melakukan tindakan keji. Dan kenyataannya semua adalah benar, karena itu terjadi pada diri saya sendiri. 

Tepat pada hari ini menjelang siang, dari kawasan Cibitung usai melakukan suatu hal, akses transportasi umum di sana sangatlah minim dan pas tempat yang saya sedang kunjungi tidak ada angkutan umum yang lewat kecuali ojek. Alhasil, untuk beralih ke jalan raya, saya harus menaiki ojek. Karena kurang paham soal nego dengan abang ojek ke jalan raya, teman saya pun yang turun tangan soal nego. Rp 15.000 sesuai kesepakatan, saya pun menimbang-nimbang jarak dan tarif sepertinya sesuai. Kemudian berlanjutlah saya naik ojek dan berpisah dengan teman saya. 

Kawasan Cibitung itu bisa dibilang sepi saat siang hari, entahlah bagaimana kondisi pagi, sore, atau malamnya. Disela perjalanan saya dengan abang ojek, saya pun sudah merasa was-was, karena si abang ojek ini ada sesuatu hal yang ganjil. Pertama, saya dibawa ke akses jalan sepi yang padahal saya lihat disekitarnya masih lumayan agak banyak orang dan lagipula juga bisa lewat akses jalan tersebut. Oh ya, posisi saya duduk di motor itu dengan posisi miring, jadi saya beranggapan, kalau terjadi "something wrong" saya bisa segera loncat dari motor (belum mikirin setelahnya). Kemudian juga saya pakai jurus terjitu saya untuk mengunci mati tindak kejahatan, jadi saya pura-pura nelepon orang tua saya dan mengatakan bahwa saya sedang naik ojek menuju tempat orang tua menunggu (padahal mah bohong) terus menyelipkan ucapan, "nanti di sms nomer plat abang ojeknya." Dengan kata lain, hal tersebut bisa juga menakuti abang ojek, karena secara tidak langsung ia akan berpikir jika bertindak jahat maka identitasnya mudah ditemukan karena adanya nomor plat tersebut. Makanya dibiasain kalau naik ojek atau taksi dilihat dan dihafal nomor platnya. 

Dan keganjilan kedua adalah saat menanyakan sesuatu hal ke abang ojeknya, si abang ojeknya terus saja diam dan melirik melalui kaca spion ke arah saya. Dengan tatapan tajam dan mempercepat irama motornya. Jadi makin was-was sebenarnya, tapi doa lah yang hanya bisa dipanjatkan. Selain daripada itu, saya juga punya jurus terjitu lainnya, yaitu berteriak kalau ada "something wrong" juga. 

Akhirnya si abang ojek pun menurunkan saya bukan pada tempatnya dan pas minta tarifnya, uang saya kan Rp 20.000 terus saya minta kembalian goceng, kata abangnya dengan bahasa isyarat sambil merogohkan kantong alias gak ada kembalinya dan secara tidak langsung meminta semua uang saya, saya pun agak membentak abang ojeknya, "sesuai kesepakatan dong bang." Alhasil, saya mencari tukeran uang dan membayarnya pas sesuai kesepakatan. Perjalanan ke jalan raya sebenarnya masih jauh, tapi dari kejauhan saya menghindar dari abang ojeknya, si abang ojeknya malah masih melihat ke arah saya. Saya pun tak ingin dianggap "mudah" oleh abangnya, saya lihat balik ke arah abangnya dengan tatapan super tajam (sepasang mata seorang perempuan itu lebih tajam dari seuntaian kata). Lalu, semuanya berakhir dan saya melanjutkan perjalanan dengan angkutan kecil ke arah jalan raya. 

Setelah menaiki angkutan kecil, saya beralih ke bus jurusan Pulo Gadung. Biasanya tarifnya itu 10 ribu atau 7 ribu. Nah ini, karena uang saya Rp 50.000 (gak ada recehan), malah dikembaliin sama keneknya Rp 30.000. Tanpa basa-basi, saya palakin lagi keneknya, "bang, kok ini kembaliannya tiga puluh ribu? Kan tarifnya ceban." Abangnya pun dengan santai justru menjawab, "naik mbak tarifnya." Dengan rasa dongkol, saya pun bertanya kepada ibu-ibu di depan saya, "bu, naik bus ini tarifnya berapa ya?" Si ibu-ibu pun menjawab, "tujuh ribu atau sepuluh ribuan mbak." Rasanya makin teriris saja mendengarnya. Bukan masalah tarifnya berapa, tapi masalahnya adalah tarif kejujurannya. Gitu aja kok. Terus juga kata ibu-ibu di samping tempat duduk saya yang baru saja masuk bus, bilang: "Mbak, kalau di sini hati-hati. Emang pada suka begitu keneknya dan juga banyak copet." Duh ileh, makin merasa was-was saja kalau gini mah. 

Huuuuh... emang benar ya, dunia itu sudah terasa kejam. Karena keamanan dan keselamatan bukan lagi perioritas utama dan juga kejujuran sudah tak banyak yang menganutnya. Pffft!

Selasa, 28 Juli 2015

Kisah Kita Belum Usai

Bila ada akhir, pastilah ada awal. Awal dan akhir adalah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, awal yang manis belum tentu berakhir manis, sebaliknya pun begitu. Awal yang pahit belum tentu berakhir pahit. 

Kisah ini telah bersemi kembali, menuliskan setiap proses yang terus dipahami hingga akhir yang menyelesaikan sendiri. Apakah satu atau tidak sama sekali. Semua kepercayaan yang dahulu sirna bangkit kembali, menuju harapan baru yang sekiranya dapat dipulihkan. Semua memang sulit disempurnakan, tapi saya harap semua masuk dalam tahap perbaikan dan kebaikan.


Sabtu, 25 Juli 2015

Waktu Bersama Keluarga

Baru saja buka mata usai menjalani mimpi penuh petualangan dan nyawa masih belum seutuhnya terkumpul. Tiba-tiba si mama menghampiri dengan sebuah pertanyaan dengan suara yang begitu lembut: "hari ini kamu pergi ke mana? hari ini kesibukannya apa?" Tak dapat menjawab karena baru saja bangun tidur, akhirnya saya hanya diam dan perlahan melihat dirinya menjauh dari letak saya yang masih duduk tergeletak.

Oh ya, ini adalah minggu terakhir liburan. Dan semuanya besok mengerjakan rutinitas seperti biasanya. Si mama besok sudah masuk kerja dan kembali pada kesibukan masing-masing.

Hmm... kami bukan dari keluarga kalangan atas, tapi kami seperti keluarga yang sulit untuk berkumpul utuh. Selama dua minggu mama libur kerja dan itu adalah momen langka, saya justru lebih sering di luar rumah karena faktor beberapa hal. Kadang suka tertawa haru melihat fenomena keluarga yang seringkali tidak seimbang; kalau mama sama bapak kumpul, saya nya yang tidak ada. Kalau mama sama saya kumpul, bapaknya yang tidak ada. Dan sebaliknya kalau saya dan bapak kumpul, mama nya yang tidak ada. Hanya hari raya Idul Fitri kemarin saja semuanya kumpul utuh dan bepergian utuh. Tak seperti biasanya yang jika kumpul hanya malam hari, itu pun terbilang singkat waktu yang terbuang bersama.

Bahkan yang lebih bikin saya tertawa haru adalah saat mama, bapak, dan saya pergi bersama namun dengan masing-masing tujuan berbeda. Waktu yang berkualitas untuk keluarga sepertinya lebih minim dibanding waktu yang diberikan untuk selain keluarga. 

Keluarga memanglah menjadi perioritas utama, bahkan saya pun selalu terus terang bila ingin meninggalkan rumah sedari mama masih libur kerja. "Hari ini mau ke sini, mau ngerjain ini. Gak apa-apa kan ditinggal? Gak apa-apa kan di rumah sendirian? Gak apa-apa kan di rumah gak ada yang nemenin?" dan jawaban mama hanya tersenyum sambil bilang, "Iya sana pergi, pulang jam berapa nanti?"

Pertanyaan seperti itulah yang seringkali membuat saya selalu ingin cepat pulang tanpa mengambil waktu untuk hal-hal yang tidak terlalu penting. Misalnya, usai melaksanakan kegiatan hari ini, yang seharusnya langsung pulang malah ikut teman ke tempat makan atau minum sekedar mengobrol. Oh ya, pernah juga buru-buru pulang dan berharap bisa sama mama di rumah, tapi pas sampai di rumah, si mama nya malah yang pergi. Pfffft! I just wanted to have a lot time and quality time for the family. Because if one of them is not there, there is not quality time. 

Jadi, menyempatkan waktu untuk keluarga memang hal yang sangat penting. Karena kita tidaklah tahu kapan kelengkapan ini berakhir dan satu persatu menemukan ajal masing-masing. Karena itu, sesibuk apapun sisihkanlah waktu untuk bersama keluarga meski sekedar kumpul di rumah dan menikmati santapan bersama. It's more than enough. 

***








Mau Jadi Sholehah

Aku
Tidaklah mulia seperti Khadijah
Tidaklah taqwa seperti Aisyah
Tidaklah tabah seperti Fatimah
Tidak pula kaya seperti Balqis
Juga tidak cantik seperti Zulaikhah

Aku
Aku hanyalah wanita biasa
Wanita yang berkeinginan untuk
Menjadi wanita sholehah

--------------


Tidak ada keinginan yang lebih indah bagi para wanita selain untuk menjadi wanita sholehah, karena wanita sholehah lebih indah dibanding perhiasan dunia. Masya Allah ...

Namun, ditepi impian tersebut tak semulus apa yang dibayangkan. Untuk menjadi wanita sholehah memang tidaklah mudah. Ada proses hijrah yang pada umumnya orang-orang katakan. Kalau dahulu masih berantakan, maka hijrahnya adalah bagaimana membentuk diri atau menata diri agar lebih rapi dan tidak lagi berantakan. 

Proses hijrah sangat banyak hambatannya, apalagi soal cinta. Bagaimana tidak, bagi wanita yang memulai hidup jauh dari agama, cinta adalah kebebasan dalam berekspresi. Mudah menyatakannya dan mudah menjalinkannya, asal masih dalam batasan normal atau tidak kelewat batas. Pacaran ya pacaran bukan pacaran kayak sudah menjalin pernikahan. Itu beda lagi katagorinya.

Ngomong-ngomong soal cinta, fitrah manusia itu adalah merasakan jatuh cinta. Kalau dahulu dengan mudahnya memberikan "sinyal" tanda rasa suka, namun seiring berjalannya waktu, impian menjadi sholehah lah yang membuat rem tersendiri akan hal tersebut. Jatuh cinta tak lagi sama seperti dahulu meski jatuh cinta rasanya tetap saja sama. 

By the way, Islam itu memang begitu spektakuler. Menjaga cinta dan memeliharanya. Sampai suatu waktu sempat menemukan diri dalam sebuah cermin malu akan hal yang pernah dilakukan atas nama cinta. Ah, cinta memang membutakan bila dilihat dengan pandangan nafsu belaka.

Lantas, bagaimana mengontrol datangnya virus pink tersebut? Kembali ke poin utama yaitu berkeinginan menjadi wanita sholehah, entah ada angin apa yang menghembuskan untuk memiliki cita-cita seperti itu, padahal banyak tuntutan dan lainnya. Tapi meski terbesit hal demikian, lahirlah rasa syukur dengan arahan ke arah cita-cita yang mengajak untuk terus memperbaiki diri meskipun susahnya minta ampun. Kalau dibilang banyak yang gak boleh dilakukan, mungkin sebagian kecil sudah mulai perlahan diterapkan namun tidaklah utuh semuanya. Karena proses hijrah seseorang butuh proses yang tidak instan. 

Mulai perlahan belajar menahan rasa jatuh cinta, membuang sejauh mungkin rasa deg-degan yang hampir bikin jantung lebih cepat berdetak saat bertemu, mulai menjaga dalam hal lainnya, dan yang paling manis adalah  tanpa sengaja mulai diam-diam menyelipkan namanya di dalam doa. Begitulah sebagian besar yang bisa menjadi pengontrol bila virus pink tersebut sudah bersarang di dalam diri. Hmmm... indah ya bila membayangkan wanita sholehah, dalam urusan cinta saja dijaganya apalagi dalam urusan yang lainnya? Makanya, banyak yang terpikat untuk meraih cita-cita tersebut. 

Maka dari itu, berkenanlah para lelaki untuk turut membantu para wanita yang ingin menjadi sholehah. Karena godaan yang paling rumit adalah apabila lawan jenis yang disuka atau tidak, tak mampu menjaga hal apapun yang seringkali setan bisikkan. So, jika berkeinginan memiliki wanita sholehah maka sholeh kan lah diri terlebih dahulu, begitupun sebaliknya. Dan tentunya wanita solehah masa kini tidak sebanding dengan sosok wanita sholehah sebelumnya pada masa Nabi.

Satu lagi, yang namanya keinginan pastilah ada proses belajar untuk mencapainya. Karena itu, tolong diingatkan bila di dalam proses tersebut ada kesalahan, jangan malah dibuat cacian atau hinaan. Karena kami hanyalah wanita biasa yang ingin menjadi wanita sholehah. Aamiiin. 

****







Jumat, 24 Juli 2015

Serba-Serbi Hari Ini

"Kepala pusing, mata sembab, dan perut lapar," begitulah yang kini sedang dirasakan. Berawal dari pagi yang sudah menjadi penghuni tetap seharian di salah satu perpustakaan di Jakarta, dan kemudian melangkahkan kaki keluar menuju suatu mall di Rawamangun untuk menonton sebuah film. Alhasil selama di dalam bioskop menikmati film, tak sengaja air mata menetes karena terhanyut oleh kisah yang dilihat. Usai menonton, perut pun tak bisa juga berdamai dengan kesibukan tadi pagi, beruntunglah di dekat sini ada salah satu tempat makanan yang terkenal, yaitu nasi goreng Cirebon.

Hmm... berhubung pesanan nasi gorengnya sudah di tempat, nanti saya edit dan lanjutkan lagi ceritanya. Hohoho... mari makan.

Kamis, 23 Juli 2015

Perioritas

"Setiap orang punya kesibukan sendiri, keegoisan sendiri, dan kebohongan sendiri. Tergantung!"

~ Arnita 


Pagi menjelang siang ini sebenarnya ada hal yang dibilang sangat langka yaitu berkumpul dengan teman-teman dekat semasa SMK. Masih dalam rangka libur kerja, mereka menyempatkan diri untuk berkumpul sekalian temu kangen. Awalnya sih mengiyakan untuk turut serta dalam perkumpulan tersebut, tapi pikiran justru lebih mengedepankan perioritas, yaitu tugas yang benar-benar sedang dikejar deadline. 

Alhasil dengan memperioritaskan tugas daripada momen langka tersebut, saya menjadikan itu sebagai hasil keegoisan bercampur dengan kesibukan tersendiri. Toh memang kenyataannya setiap orang mempunyai keegoisan dan kesibukan sendiri, asal terhindar dari kebohongan saja untuk menutupi. 


Rabu, 22 Juli 2015

Jangan Jadi Parasit

Akan selalu ada momen di mana lo kerja sendirian padahal lo punya tim di dalamnya. Kalau bukan karena sebuah tanggung jawab akan suatu hal yang harus diselesaikan, bisa saja lo juga akan merasa acuh dan tak sama sekali peduli. Contohnya saat mengemban tugas dari dosen per kelompok. Tapi cuma lo yang merasa kerjain tugas tersebut sendirian, yang lainnya hanya tinggal menunggu hasil dan bayar patungan nge-print pas mau presentasi tugas tersebut. Dan tinggallah alasan-alasan klise yang membuat mereka mengalihkan kemalasannya. Ada yang bilang sakit (padahal gak sakit parah) juga ada yang bilang sibuk kerja (Haduh, kerja dijadikan faktor utama). Sesibuk-sibuknya orang kerja pasti ada waktu luang meski sedikit, nah kenapa gak pada mau memanfaatkan waktu? Kalau masih juga sibuk dengan kerjaan, kenapa masih ingin menikmati bangku kuliah? Toh bakal percuma jika kuliah hanya menginginkan Ijazahnya untuk naik jabatan tapi ilmu tak sebanding yang dicapai. Intinya adalah jangan membebani anggota kelompok lainnya kalau memang menerima tugas yang harus diselesaikan bersama. Gitu saja sih. Dan yang lebih parahnya jika satu anggota tersebut sudah susah payah mengerjakan tugas sendirian namun hasilnya tidak memuaskan, anggota lainnya yang tidak turut membantu dalam menyelesaikan tugas malah bisanya menyalahkan dan menjelek-jelekkan. Tipe orang seperti inilah yang biasa disebut parasit.

Kuliah sambil kerja atau kerja sambil kuliah memang tidak masalah, asalkan dapat membagi waktu secara adil untuk keduanya. Memangnya situ orang mau, kerja habis-habisan kemudian bayar kuliah tapi ternyata kuliah hanya mengandalkan pikiran orang lain. Pfffft!!! Capek di dompet itu mah. 

Mbok ya, kalau tugas kelompok itu dikerjakan bareng-bareng, gak harus ketemu semua anggota kelompoknya, cukup berkirim-kiriman email mengenai pembahasan tugas. Lah ini mah kadang suka lucu, kalau satu memberikan komando, malah dibilang sok jadi ketua, sok begitu lah, sok begini lah. Dan alhasil tugas jadi terbengkalai karena anggapan tersebut. Payah dah ah, kalau sudah jadi mahasiswa tapi pikirannya masih kayak bocah seragam sekolah. 




Hai Sabit



Lebur di Dalam Sabit 


Malam ini
Hamparan sunyi menggerogoti diri
Sepi dan aku sendiri berdiri
Menikmati cahaya sabit berhari-hari

Hai Sabit
Kulihat engkau terjaga oleh jarak
Membuatku cemburu akan ketabahanmu menunggu
Hingga pagi kau hilang dan berganti

Hai Sabit
Apakah seseorang di sana melihat keberadaanmu?
Bila jawabannya "iya", tolong sampaikan
Jika aku masih tetap rindu dan akan selalu menunggu
Kedatangannya pulang untuk menyempurnakan kalbu

……………………






Selasa, 21 Juli 2015

Basa-Basi

Hangatnya cahaya matahari dan segelas kopi menjadi teman tersendiri di pagi hari ini. Duduk berhadapan dengan leptop di samping jendela sembari diiringi alunan musik dari grup band SO7 yang berjudul lapang dada, membuat saya memang kudu berlapang dada. Masalahnya adalah saya harus membuat blog berkali-kali karena satu sebab yang sama, yakni lupa password nya. Kalau dihitung-hitung lagi kayaknya ini blog ke empat yang saya buat. Tak mau berakhir sama seperti blog sebelumnya, saya pun membuat catatan kecil mengenai password dan email blog ini, khawatir sewaktu-waktu ingatan saya sudah mulai melemah dapat dikembalikan dengan catatan kecil tersebut. 

Oh ya, saya sangat suka dengan menulis, karena itu di dalam blog ini saya akan menuangkan tulisan saya yang kadang absurd dan suka gak jelas. So, selamat datang kembali di dalam dunia saya. Jangan lupa taruh komentar kalian di setiap tulisan yang saya posting. Ingat, komentarnya harus bernuansa saran atau kritik yang membangun bukan malah berisi cacian, makian atau curhatan apalagi tagihan hutang. Hohoho .... 


Melancong ke Pantai Ancol

Akhir tanggal merah di bulan Juli ini membuat saya dan teman saya tidak ingin menghabiskan waktu secara cuma-cuma. Jam 14.30 WIB, kami pun langsung melancong menaiki Transjakarta ke arah halte busway Ancol. Hanya bermodalkan tiket Transjakarta seharga Rp 3.500 dan juga tiket masuk Ancol seharga Rp 25.000, kami memulai liburan yang sederhana ini.

Awalnya saya hanya menginginkan untuk mengambil foto jembatan Ancol saat senja tiba. Namun karena sampai di sana masih dapat mengulur waktu kedatangan matahari terbenam, teman saya pun mengemukakan ide nya untuk mengambil foto dengan tema liburan bersama keluarga. Jadilah, saya juga ingin mengambil foto momen liburan anak bocah bersama keluarga, meski terbesit rasa sedih mengingat kenangan bersama keluarga waktu masih kecil.

Melihat hal demikian, saya menyadari bahwasanya liburan tak akan berarti tanpa nuansa kekeluargaan, karena kebanyakan orang berlibur untuk lari dari kesepian. Liburan juga tak harus mahal, karena liburan yang sederhana pun mampu menciptakan kebahagiaan.

Berikut adalah beberapa postingan foto yang diambil di sini:

Apapun bentuk pasirnya yang penting usaha membangunnya. 



Bermain bersama lebih menyenangkan.
Sosok ayah yang sedang bermain pasir dengan anaknya.
Meski terlihat acuh namun Ia tetap memperhatikan anak-anaknya. Begitulah sosok seorang ayah.
Seorang ibu yang sedang mengajak anaknya bermain pasir.

Seorang anak dan dunianya. Asyik ya ... 

"Nak, ayah tidur dulu ya. Kamu main pasir saja." Kira-kira begitulah kata si Ayah.

Menuju senja yang sudah dinanti banyak orang.


Dan akhir dari tulisan ini adalah seperti gambar berikut:

Di mana pun tempat liburannya, yang terpenting adalah arti kebersamaannya.