Jumat, 31 Juli 2015

Sebuah Kegagalan

Dalam hidup ini setiap orang siap menyantap keberhasilan, tapi tak banyak orang yang siap menikmati kegagalan. Padahal mereka tahu, bahwasanya kegagalan dan keberhasilan adalah sepasang hal yang selalu ditemui dalam kehidupan.

Dan dalam hidup ini banyak orang yang terpuruk dalam kegagalannya, entah apapun yang membuatnya gagal. Tapi juga banyak orang yang justru (pura-pura atau terpaksa) ikhlas menerima kegagalan kemudian bangkit kembali untuk memperoleh keberhasilan.

Ngomongin tentang kegagalan, sebagian orang mungkin menyalahkan Tuhan, memberikan cercaan kalau Tuhan tidaklah adil padanya. Padahal memang itulah ketentuan dariNya, mungkin saja kegagalan adalah salah satu cara mengikatkan pada sebuah tawakal dan ikhtiar.

Kegagalan oh kegagalan, banyak orang sukses telah sanggup melewatinya, membuang semua keterpurukan dari kegagalan dan akhirnya keberhasilan lah yang menjadi jawaban atas sepenuhnya doa yang dibarengi usaha dan ikhtiar serta tawakal.

Menjelang siang ini, seperti yang sudah saya singgung sebelumnya. Saya baru saja memperoleh kegagalan. Entahlah, beberapa hal sama yang saya lakukan selalu berujung pada kegagalan. Terbesit rasa sedih itu pasti. Rasa kecewa, apalagi. Tapi yang lebih mendominasi adalah rasa (terpaksa) ikhlas karena memang sudah ketentuanNya, yang terpenting sudah memaksimalkan usaha dan doa. Bukankah manusia hanya bisa berdoa dan berusaha? Dan Tuhan lah yang menentukan hasilnya. (Ceritanya lagi nulis ini sembari membesarkan hati saja biar gak kecolongan rasa sedih). Huhuhu ... .... ...

Kalau di-review lagi, kayaknya saya sudah temanan akrab dengan kegagalan deh. Urusan pekerjaan, gagal. Urusan percintaan, (nyaris) gagal. Dan urusan-urusan lainnya yang mengalami kegagalan.

Eits... sebagai orang (yang mengaku) Islam, itu semua tampak buruk bila dilihat dengan kaca mata kekufuran lho, kufur nikmat maksudnya, alias tidak bersyukur. Coba kalau kegagalan itu dihadiahkan dengan rasa syukur, pasti deh mudah ikhlasnya. Bersyukur, mungkin saja Tuhan akan mengganti sebuah keberhasilan yang lebih baik lagi.

Dan untuk seseorang juga segelintir orang yang sebelumnya telah memberikan support ke saya untuk mengakhirkan proses ini jadi keberhasilan tapi malah berakhir tidak seperti yang diinginkan. Saya minta maaf ya bila mengecewakan.


Bagi Seorang Perempuan

Bagi seorang perempuan, lebih baik dia menyimpan rapi perasaan yang sebenarnya kepada lelaki yang disukainya. Tak tahu sampai kapan perasaan itu tersembunyi, dia selalu berharap lelaki itu mengetahui dengan sendirinya. Namun, hal tersebut kadangkala tak membawa berita baik, karena biasanya perasaan tersebut harus dituntas paksa dengan kehadiran orang lain. 

Bagi seorang perempuan, tak ada gunanya menunggu lama seseorang yang disukainya yang tak  pernah sedikitpun memandang keberadaannya. Karena itu, perempuan lebih rela menyelesaikan perasaannya dengan menerima kehadiran orang lain yang justru mencari keberadaannya. 

Meski perasaan yang disembunyikan makin menikam dirinya, seorang perempuan masih tetap bisa berdrama dalam kenyataan sampai dia melihat sendiri akhir dari bayangan semu akan lelaki yang disukainya. 

***

Soal Pasangan Nanti

Kalau ditanya mau bagaimana pasanganmu nanti, pastilah banyak yang menginginkan kesempurnaan pada pasangannya, tapi justru lupa dengan ketidaksempurnaan dirinya sendiri.

Apalagi wanita, bukan hal yang jarang lagi jika mereka mampu menjawab hal demikian dengan lengkap dan spontan. Namun, kebanyakan dari mereka melihat hanya pada tampilan luarnya saja. Faktanya adalah mereka menginginkan pasangan yang ganteng, tajir, dan lainnya yang begitu perfeksionis. Dan saya pun sempat berpikiran seperti itu saat masih berada di bangku putih abu-abu jika sedang ngomongin masa depan. Anggapan tersebut biasanya hanya mampu membayangkan hidup yang indah dan enak saja. Padahal kenyataannya, banyak juga tuh mereka yang sudah memiliki pasangan yang sekiranya seperti itu namun tak bahagia sama sekali. Kasihan ya ....

Kalau dulu saya sempat berpikir begitu, sekarang pun pikiran saya tentang pasangan hanya satu jawabannya yaitu shalih. Cuma itu saja kok. Bahkan kriteria tersebutlah yang menurut saya lebih dari sebelumnya. Karena stok lelaki shalih sepertinya sudah limited edition. Dan karena saya menginginkan kriteria tersebut, otomatislah saya bercermin terhadap diri sendiri. Bahwasanya lelaki shalih patut disandingkan dengan wanita shalihah. So, sudahkah saya men-shalihah-kan diri? Jika belum, maka kuncinya adalah dengan terus memperbaiki diri.

"Lantas bagaimana dengan kehidupan sekarang yang dikit-dikit keluar uang jika yang dicari saja hanya pasangan yang shalih? Memangnya mau hidup susah?" begitulah pertanyaan selanjutnya yang biasa diterima. Gini lho dear, lelaki shalih itu pastilah akan bertanggung jawab dengan pasangannya, tidak mungkin menelantarkannya. Ia pasti akan berusaha untuk mencari nafkah. Hmm... emang kadang susah juga sih gimana menjelaskannya, kalau bicara dengan orang yang pandangannya adalah kesempurnaan hidup, bahkan soal keuangan saja perlu ditakar dan juga ada kriterianya. Pffft!!!

Mencari pasangan itu bukan hanya untuk kepentingan dunia, tapi juga memilih pasangan yang mampu membimbing ke jalanNya sampai selamat dunia dan akhirat.

Ya, harus diakui juga sih, se-pendosa-dosa nya saya, cuma itu saja yang saya inginkan. Keselamatan di dunia dan akhirat. Tapi ya namanya juga manusia, yang selalu dekat dengan kesalahan dan kekhilafan. Kadang kala lupaakan hakekat tersebut.

Oh ya, dalam memilih pasangan mungkin perioritas paling utama adalah soal agamanya. Jika yang lainnya terpenuhi, anggap saja itu semua adalah hadiah dariNya.

***

Edisi lagi "bener".




Kamis, 30 Juli 2015

Surat Untukmu, Akhi

Karena tak sanggup mengucapkannya secara langsung, kutuliskan saja surat untukmu. 


Assalamu'alaikum wr.wb

Syukur pada Allah yang masih mengaruniakan nafas padaku dan padamu untuk segera memperbarui taubat.

Akhi, rasanya aku telah menemukan Kekasih yang jauh lebih baik darimu. Yang Tak pernah Mengantuk dan Tak pernah Tidur. Yang siap terus-menerus Memperhatikan dan Mengurusku. Yang selalu bersedia berduaan di sepertiga terakhir malam. Yang siap Memberi apapun yang kupinta. Ia yang Bertahta, Berkuasa, dan Memiliki Segalanya. 

Maaf akhi, tapi menurutku kau bukan apa-apa dibanding Dia. Kau sangat lemah, kecil, dan kerdil di hadapanNya. Ia berbuat apa saja sekehendakNya kepadamu. Dan, akhi, aku khawatir apa yang telah kita lakukan selama ini membuatNya murka. Padahal Ia, Maha Kuat, Maha Gagah, Maha Perkasa, Maha Keras SiksaNya.

Akhi, belum terlambat untuk bertaubat. Apa yang telah kita lakukan selama ini pasti akan ditanyakan olehNya. Ia bisa marah, akhi. Marah tentang saling pandang yang pernah kita lakukan, marah karena setitik sentuhan kulit kita yang belum halal itu, marah karena suatu ketika dengan terpaksa aku harus membonceng motormu, marah karena pernah ketetapanNya kuadukan padamu atau tentang lamunanku yang selalu membayangkan wajahmu. Ia bisa marah. Tapi sekali lagi semua belum terlambat. Kalau kita memutuskan hubungan ini sekarang, semoga Ia mau Memaafkan dan Mengampuni. Akhi, Ia Maha Pengampun, Maha Pemberi Maaf, Maha Menerima Taubat, Maha Penyayang, Maha Bijaksana.

Akhi, jangan marah ya. Aku sudah memutuskan untuk menyerahkan cintaku padaNya, tidak pada selainNya. Tapi tak cuma aku, akhi. Kau pun bisa menjadi kekasihNya, kekasih yang amat dicintai dan dimuliakan. Caranya satu, kita harus jauhi semua larangan-laranganNya termasuk dalam soal hubungan kita ini. Insyaallah, Dia punya rencana yang indah untuk masa depan kita masing-masing. Kalau engkau selalu berusaha menjaga dari hal-hal yang dibenciNya, kau pasti akan dipertemukan dengan seorang wanita shalihah. Ya, wanita shalihah yang pasti jauh lebih baik dari diriku saat ini. Ia yang akan membantumu menjaga agamamu, agar hidupmu senantiasa dalam kerangka mencari ridha Allah dalam ikatan pernikahan yang suci. Inilah doaku untukmu, semoga kaupun mendoakanku, akhi. 

Akhi, aku akan segera menghapus namamu dari memori masa lalu yang salah arah ini. Tapi, aku akan tetap menghormatimu sebagai saudara di jalan Allah. Ya, saudara di jalan Allah, akhi. Itulah ikatan terbaik. Tak hanya antara kita berdua, tapi seluruh orang mukmin di dunia. Tak mustahil itulah yang akan mempertemukan kita dengan Rasulullah di telaganya, lalu beliaupun memberi minum kita dengan air yang lebih manis dari madu, lebih lembut dari susu, dan lebih sejuk dari krim beku.

Maaf, akhi. Tak baik rasanya aku berlama-lama menulis surat ini. Aku takut ini merusak hati. Goresan pena terakhirku di surat ini adalah doa keselamatan dunia dan akhirat sekaligus tanda akhir hubungan haram kita, insyaallah.

Wasaalamu'alaikum wr.wb 

***

Salim A. Fillah, Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan, (Yogyakarta: Pro-U Media,), hlm. 58-60.

Rabu, 29 Juli 2015

Asam Pahit Dunia Luar

Kata orang, "dunia luar itu kejam." Banyak orang yang saling sikut, banyak orang yang sudah tidak ada rasa peduli dengan sesama, banyak orang yang lupa hakekat kejujuran, juga banyak orang yang menghalalkan berbagai cara demi kepentingan perut, dan banyak orang lainnya yang melakukan tindakan keji. Dan kenyataannya semua adalah benar, karena itu terjadi pada diri saya sendiri. 

Tepat pada hari ini menjelang siang, dari kawasan Cibitung usai melakukan suatu hal, akses transportasi umum di sana sangatlah minim dan pas tempat yang saya sedang kunjungi tidak ada angkutan umum yang lewat kecuali ojek. Alhasil, untuk beralih ke jalan raya, saya harus menaiki ojek. Karena kurang paham soal nego dengan abang ojek ke jalan raya, teman saya pun yang turun tangan soal nego. Rp 15.000 sesuai kesepakatan, saya pun menimbang-nimbang jarak dan tarif sepertinya sesuai. Kemudian berlanjutlah saya naik ojek dan berpisah dengan teman saya. 

Kawasan Cibitung itu bisa dibilang sepi saat siang hari, entahlah bagaimana kondisi pagi, sore, atau malamnya. Disela perjalanan saya dengan abang ojek, saya pun sudah merasa was-was, karena si abang ojek ini ada sesuatu hal yang ganjil. Pertama, saya dibawa ke akses jalan sepi yang padahal saya lihat disekitarnya masih lumayan agak banyak orang dan lagipula juga bisa lewat akses jalan tersebut. Oh ya, posisi saya duduk di motor itu dengan posisi miring, jadi saya beranggapan, kalau terjadi "something wrong" saya bisa segera loncat dari motor (belum mikirin setelahnya). Kemudian juga saya pakai jurus terjitu saya untuk mengunci mati tindak kejahatan, jadi saya pura-pura nelepon orang tua saya dan mengatakan bahwa saya sedang naik ojek menuju tempat orang tua menunggu (padahal mah bohong) terus menyelipkan ucapan, "nanti di sms nomer plat abang ojeknya." Dengan kata lain, hal tersebut bisa juga menakuti abang ojek, karena secara tidak langsung ia akan berpikir jika bertindak jahat maka identitasnya mudah ditemukan karena adanya nomor plat tersebut. Makanya dibiasain kalau naik ojek atau taksi dilihat dan dihafal nomor platnya. 

Dan keganjilan kedua adalah saat menanyakan sesuatu hal ke abang ojeknya, si abang ojeknya terus saja diam dan melirik melalui kaca spion ke arah saya. Dengan tatapan tajam dan mempercepat irama motornya. Jadi makin was-was sebenarnya, tapi doa lah yang hanya bisa dipanjatkan. Selain daripada itu, saya juga punya jurus terjitu lainnya, yaitu berteriak kalau ada "something wrong" juga. 

Akhirnya si abang ojek pun menurunkan saya bukan pada tempatnya dan pas minta tarifnya, uang saya kan Rp 20.000 terus saya minta kembalian goceng, kata abangnya dengan bahasa isyarat sambil merogohkan kantong alias gak ada kembalinya dan secara tidak langsung meminta semua uang saya, saya pun agak membentak abang ojeknya, "sesuai kesepakatan dong bang." Alhasil, saya mencari tukeran uang dan membayarnya pas sesuai kesepakatan. Perjalanan ke jalan raya sebenarnya masih jauh, tapi dari kejauhan saya menghindar dari abang ojeknya, si abang ojeknya malah masih melihat ke arah saya. Saya pun tak ingin dianggap "mudah" oleh abangnya, saya lihat balik ke arah abangnya dengan tatapan super tajam (sepasang mata seorang perempuan itu lebih tajam dari seuntaian kata). Lalu, semuanya berakhir dan saya melanjutkan perjalanan dengan angkutan kecil ke arah jalan raya. 

Setelah menaiki angkutan kecil, saya beralih ke bus jurusan Pulo Gadung. Biasanya tarifnya itu 10 ribu atau 7 ribu. Nah ini, karena uang saya Rp 50.000 (gak ada recehan), malah dikembaliin sama keneknya Rp 30.000. Tanpa basa-basi, saya palakin lagi keneknya, "bang, kok ini kembaliannya tiga puluh ribu? Kan tarifnya ceban." Abangnya pun dengan santai justru menjawab, "naik mbak tarifnya." Dengan rasa dongkol, saya pun bertanya kepada ibu-ibu di depan saya, "bu, naik bus ini tarifnya berapa ya?" Si ibu-ibu pun menjawab, "tujuh ribu atau sepuluh ribuan mbak." Rasanya makin teriris saja mendengarnya. Bukan masalah tarifnya berapa, tapi masalahnya adalah tarif kejujurannya. Gitu aja kok. Terus juga kata ibu-ibu di samping tempat duduk saya yang baru saja masuk bus, bilang: "Mbak, kalau di sini hati-hati. Emang pada suka begitu keneknya dan juga banyak copet." Duh ileh, makin merasa was-was saja kalau gini mah. 

Huuuuh... emang benar ya, dunia itu sudah terasa kejam. Karena keamanan dan keselamatan bukan lagi perioritas utama dan juga kejujuran sudah tak banyak yang menganutnya. Pffft!

Selasa, 28 Juli 2015

Kisah Kita Belum Usai

Bila ada akhir, pastilah ada awal. Awal dan akhir adalah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, awal yang manis belum tentu berakhir manis, sebaliknya pun begitu. Awal yang pahit belum tentu berakhir pahit. 

Kisah ini telah bersemi kembali, menuliskan setiap proses yang terus dipahami hingga akhir yang menyelesaikan sendiri. Apakah satu atau tidak sama sekali. Semua kepercayaan yang dahulu sirna bangkit kembali, menuju harapan baru yang sekiranya dapat dipulihkan. Semua memang sulit disempurnakan, tapi saya harap semua masuk dalam tahap perbaikan dan kebaikan.


Sabtu, 25 Juli 2015

Waktu Bersama Keluarga

Baru saja buka mata usai menjalani mimpi penuh petualangan dan nyawa masih belum seutuhnya terkumpul. Tiba-tiba si mama menghampiri dengan sebuah pertanyaan dengan suara yang begitu lembut: "hari ini kamu pergi ke mana? hari ini kesibukannya apa?" Tak dapat menjawab karena baru saja bangun tidur, akhirnya saya hanya diam dan perlahan melihat dirinya menjauh dari letak saya yang masih duduk tergeletak.

Oh ya, ini adalah minggu terakhir liburan. Dan semuanya besok mengerjakan rutinitas seperti biasanya. Si mama besok sudah masuk kerja dan kembali pada kesibukan masing-masing.

Hmm... kami bukan dari keluarga kalangan atas, tapi kami seperti keluarga yang sulit untuk berkumpul utuh. Selama dua minggu mama libur kerja dan itu adalah momen langka, saya justru lebih sering di luar rumah karena faktor beberapa hal. Kadang suka tertawa haru melihat fenomena keluarga yang seringkali tidak seimbang; kalau mama sama bapak kumpul, saya nya yang tidak ada. Kalau mama sama saya kumpul, bapaknya yang tidak ada. Dan sebaliknya kalau saya dan bapak kumpul, mama nya yang tidak ada. Hanya hari raya Idul Fitri kemarin saja semuanya kumpul utuh dan bepergian utuh. Tak seperti biasanya yang jika kumpul hanya malam hari, itu pun terbilang singkat waktu yang terbuang bersama.

Bahkan yang lebih bikin saya tertawa haru adalah saat mama, bapak, dan saya pergi bersama namun dengan masing-masing tujuan berbeda. Waktu yang berkualitas untuk keluarga sepertinya lebih minim dibanding waktu yang diberikan untuk selain keluarga. 

Keluarga memanglah menjadi perioritas utama, bahkan saya pun selalu terus terang bila ingin meninggalkan rumah sedari mama masih libur kerja. "Hari ini mau ke sini, mau ngerjain ini. Gak apa-apa kan ditinggal? Gak apa-apa kan di rumah sendirian? Gak apa-apa kan di rumah gak ada yang nemenin?" dan jawaban mama hanya tersenyum sambil bilang, "Iya sana pergi, pulang jam berapa nanti?"

Pertanyaan seperti itulah yang seringkali membuat saya selalu ingin cepat pulang tanpa mengambil waktu untuk hal-hal yang tidak terlalu penting. Misalnya, usai melaksanakan kegiatan hari ini, yang seharusnya langsung pulang malah ikut teman ke tempat makan atau minum sekedar mengobrol. Oh ya, pernah juga buru-buru pulang dan berharap bisa sama mama di rumah, tapi pas sampai di rumah, si mama nya malah yang pergi. Pfffft! I just wanted to have a lot time and quality time for the family. Because if one of them is not there, there is not quality time. 

Jadi, menyempatkan waktu untuk keluarga memang hal yang sangat penting. Karena kita tidaklah tahu kapan kelengkapan ini berakhir dan satu persatu menemukan ajal masing-masing. Karena itu, sesibuk apapun sisihkanlah waktu untuk bersama keluarga meski sekedar kumpul di rumah dan menikmati santapan bersama. It's more than enough. 

***








Mau Jadi Sholehah

Aku
Tidaklah mulia seperti Khadijah
Tidaklah taqwa seperti Aisyah
Tidaklah tabah seperti Fatimah
Tidak pula kaya seperti Balqis
Juga tidak cantik seperti Zulaikhah

Aku
Aku hanyalah wanita biasa
Wanita yang berkeinginan untuk
Menjadi wanita sholehah

--------------


Tidak ada keinginan yang lebih indah bagi para wanita selain untuk menjadi wanita sholehah, karena wanita sholehah lebih indah dibanding perhiasan dunia. Masya Allah ...

Namun, ditepi impian tersebut tak semulus apa yang dibayangkan. Untuk menjadi wanita sholehah memang tidaklah mudah. Ada proses hijrah yang pada umumnya orang-orang katakan. Kalau dahulu masih berantakan, maka hijrahnya adalah bagaimana membentuk diri atau menata diri agar lebih rapi dan tidak lagi berantakan. 

Proses hijrah sangat banyak hambatannya, apalagi soal cinta. Bagaimana tidak, bagi wanita yang memulai hidup jauh dari agama, cinta adalah kebebasan dalam berekspresi. Mudah menyatakannya dan mudah menjalinkannya, asal masih dalam batasan normal atau tidak kelewat batas. Pacaran ya pacaran bukan pacaran kayak sudah menjalin pernikahan. Itu beda lagi katagorinya.

Ngomong-ngomong soal cinta, fitrah manusia itu adalah merasakan jatuh cinta. Kalau dahulu dengan mudahnya memberikan "sinyal" tanda rasa suka, namun seiring berjalannya waktu, impian menjadi sholehah lah yang membuat rem tersendiri akan hal tersebut. Jatuh cinta tak lagi sama seperti dahulu meski jatuh cinta rasanya tetap saja sama. 

By the way, Islam itu memang begitu spektakuler. Menjaga cinta dan memeliharanya. Sampai suatu waktu sempat menemukan diri dalam sebuah cermin malu akan hal yang pernah dilakukan atas nama cinta. Ah, cinta memang membutakan bila dilihat dengan pandangan nafsu belaka.

Lantas, bagaimana mengontrol datangnya virus pink tersebut? Kembali ke poin utama yaitu berkeinginan menjadi wanita sholehah, entah ada angin apa yang menghembuskan untuk memiliki cita-cita seperti itu, padahal banyak tuntutan dan lainnya. Tapi meski terbesit hal demikian, lahirlah rasa syukur dengan arahan ke arah cita-cita yang mengajak untuk terus memperbaiki diri meskipun susahnya minta ampun. Kalau dibilang banyak yang gak boleh dilakukan, mungkin sebagian kecil sudah mulai perlahan diterapkan namun tidaklah utuh semuanya. Karena proses hijrah seseorang butuh proses yang tidak instan. 

Mulai perlahan belajar menahan rasa jatuh cinta, membuang sejauh mungkin rasa deg-degan yang hampir bikin jantung lebih cepat berdetak saat bertemu, mulai menjaga dalam hal lainnya, dan yang paling manis adalah  tanpa sengaja mulai diam-diam menyelipkan namanya di dalam doa. Begitulah sebagian besar yang bisa menjadi pengontrol bila virus pink tersebut sudah bersarang di dalam diri. Hmmm... indah ya bila membayangkan wanita sholehah, dalam urusan cinta saja dijaganya apalagi dalam urusan yang lainnya? Makanya, banyak yang terpikat untuk meraih cita-cita tersebut. 

Maka dari itu, berkenanlah para lelaki untuk turut membantu para wanita yang ingin menjadi sholehah. Karena godaan yang paling rumit adalah apabila lawan jenis yang disuka atau tidak, tak mampu menjaga hal apapun yang seringkali setan bisikkan. So, jika berkeinginan memiliki wanita sholehah maka sholeh kan lah diri terlebih dahulu, begitupun sebaliknya. Dan tentunya wanita solehah masa kini tidak sebanding dengan sosok wanita sholehah sebelumnya pada masa Nabi.

Satu lagi, yang namanya keinginan pastilah ada proses belajar untuk mencapainya. Karena itu, tolong diingatkan bila di dalam proses tersebut ada kesalahan, jangan malah dibuat cacian atau hinaan. Karena kami hanyalah wanita biasa yang ingin menjadi wanita sholehah. Aamiiin. 

****







Jumat, 24 Juli 2015

Serba-Serbi Hari Ini

"Kepala pusing, mata sembab, dan perut lapar," begitulah yang kini sedang dirasakan. Berawal dari pagi yang sudah menjadi penghuni tetap seharian di salah satu perpustakaan di Jakarta, dan kemudian melangkahkan kaki keluar menuju suatu mall di Rawamangun untuk menonton sebuah film. Alhasil selama di dalam bioskop menikmati film, tak sengaja air mata menetes karena terhanyut oleh kisah yang dilihat. Usai menonton, perut pun tak bisa juga berdamai dengan kesibukan tadi pagi, beruntunglah di dekat sini ada salah satu tempat makanan yang terkenal, yaitu nasi goreng Cirebon.

Hmm... berhubung pesanan nasi gorengnya sudah di tempat, nanti saya edit dan lanjutkan lagi ceritanya. Hohoho... mari makan.

Kamis, 23 Juli 2015

Perioritas

"Setiap orang punya kesibukan sendiri, keegoisan sendiri, dan kebohongan sendiri. Tergantung!"

~ Arnita 


Pagi menjelang siang ini sebenarnya ada hal yang dibilang sangat langka yaitu berkumpul dengan teman-teman dekat semasa SMK. Masih dalam rangka libur kerja, mereka menyempatkan diri untuk berkumpul sekalian temu kangen. Awalnya sih mengiyakan untuk turut serta dalam perkumpulan tersebut, tapi pikiran justru lebih mengedepankan perioritas, yaitu tugas yang benar-benar sedang dikejar deadline. 

Alhasil dengan memperioritaskan tugas daripada momen langka tersebut, saya menjadikan itu sebagai hasil keegoisan bercampur dengan kesibukan tersendiri. Toh memang kenyataannya setiap orang mempunyai keegoisan dan kesibukan sendiri, asal terhindar dari kebohongan saja untuk menutupi. 


Rabu, 22 Juli 2015

Jangan Jadi Parasit

Akan selalu ada momen di mana lo kerja sendirian padahal lo punya tim di dalamnya. Kalau bukan karena sebuah tanggung jawab akan suatu hal yang harus diselesaikan, bisa saja lo juga akan merasa acuh dan tak sama sekali peduli. Contohnya saat mengemban tugas dari dosen per kelompok. Tapi cuma lo yang merasa kerjain tugas tersebut sendirian, yang lainnya hanya tinggal menunggu hasil dan bayar patungan nge-print pas mau presentasi tugas tersebut. Dan tinggallah alasan-alasan klise yang membuat mereka mengalihkan kemalasannya. Ada yang bilang sakit (padahal gak sakit parah) juga ada yang bilang sibuk kerja (Haduh, kerja dijadikan faktor utama). Sesibuk-sibuknya orang kerja pasti ada waktu luang meski sedikit, nah kenapa gak pada mau memanfaatkan waktu? Kalau masih juga sibuk dengan kerjaan, kenapa masih ingin menikmati bangku kuliah? Toh bakal percuma jika kuliah hanya menginginkan Ijazahnya untuk naik jabatan tapi ilmu tak sebanding yang dicapai. Intinya adalah jangan membebani anggota kelompok lainnya kalau memang menerima tugas yang harus diselesaikan bersama. Gitu saja sih. Dan yang lebih parahnya jika satu anggota tersebut sudah susah payah mengerjakan tugas sendirian namun hasilnya tidak memuaskan, anggota lainnya yang tidak turut membantu dalam menyelesaikan tugas malah bisanya menyalahkan dan menjelek-jelekkan. Tipe orang seperti inilah yang biasa disebut parasit.

Kuliah sambil kerja atau kerja sambil kuliah memang tidak masalah, asalkan dapat membagi waktu secara adil untuk keduanya. Memangnya situ orang mau, kerja habis-habisan kemudian bayar kuliah tapi ternyata kuliah hanya mengandalkan pikiran orang lain. Pfffft!!! Capek di dompet itu mah. 

Mbok ya, kalau tugas kelompok itu dikerjakan bareng-bareng, gak harus ketemu semua anggota kelompoknya, cukup berkirim-kiriman email mengenai pembahasan tugas. Lah ini mah kadang suka lucu, kalau satu memberikan komando, malah dibilang sok jadi ketua, sok begitu lah, sok begini lah. Dan alhasil tugas jadi terbengkalai karena anggapan tersebut. Payah dah ah, kalau sudah jadi mahasiswa tapi pikirannya masih kayak bocah seragam sekolah. 




Hai Sabit



Lebur di Dalam Sabit 


Malam ini
Hamparan sunyi menggerogoti diri
Sepi dan aku sendiri berdiri
Menikmati cahaya sabit berhari-hari

Hai Sabit
Kulihat engkau terjaga oleh jarak
Membuatku cemburu akan ketabahanmu menunggu
Hingga pagi kau hilang dan berganti

Hai Sabit
Apakah seseorang di sana melihat keberadaanmu?
Bila jawabannya "iya", tolong sampaikan
Jika aku masih tetap rindu dan akan selalu menunggu
Kedatangannya pulang untuk menyempurnakan kalbu

……………………






Selasa, 21 Juli 2015

Basa-Basi

Hangatnya cahaya matahari dan segelas kopi menjadi teman tersendiri di pagi hari ini. Duduk berhadapan dengan leptop di samping jendela sembari diiringi alunan musik dari grup band SO7 yang berjudul lapang dada, membuat saya memang kudu berlapang dada. Masalahnya adalah saya harus membuat blog berkali-kali karena satu sebab yang sama, yakni lupa password nya. Kalau dihitung-hitung lagi kayaknya ini blog ke empat yang saya buat. Tak mau berakhir sama seperti blog sebelumnya, saya pun membuat catatan kecil mengenai password dan email blog ini, khawatir sewaktu-waktu ingatan saya sudah mulai melemah dapat dikembalikan dengan catatan kecil tersebut. 

Oh ya, saya sangat suka dengan menulis, karena itu di dalam blog ini saya akan menuangkan tulisan saya yang kadang absurd dan suka gak jelas. So, selamat datang kembali di dalam dunia saya. Jangan lupa taruh komentar kalian di setiap tulisan yang saya posting. Ingat, komentarnya harus bernuansa saran atau kritik yang membangun bukan malah berisi cacian, makian atau curhatan apalagi tagihan hutang. Hohoho .... 


Melancong ke Pantai Ancol

Akhir tanggal merah di bulan Juli ini membuat saya dan teman saya tidak ingin menghabiskan waktu secara cuma-cuma. Jam 14.30 WIB, kami pun langsung melancong menaiki Transjakarta ke arah halte busway Ancol. Hanya bermodalkan tiket Transjakarta seharga Rp 3.500 dan juga tiket masuk Ancol seharga Rp 25.000, kami memulai liburan yang sederhana ini.

Awalnya saya hanya menginginkan untuk mengambil foto jembatan Ancol saat senja tiba. Namun karena sampai di sana masih dapat mengulur waktu kedatangan matahari terbenam, teman saya pun mengemukakan ide nya untuk mengambil foto dengan tema liburan bersama keluarga. Jadilah, saya juga ingin mengambil foto momen liburan anak bocah bersama keluarga, meski terbesit rasa sedih mengingat kenangan bersama keluarga waktu masih kecil.

Melihat hal demikian, saya menyadari bahwasanya liburan tak akan berarti tanpa nuansa kekeluargaan, karena kebanyakan orang berlibur untuk lari dari kesepian. Liburan juga tak harus mahal, karena liburan yang sederhana pun mampu menciptakan kebahagiaan.

Berikut adalah beberapa postingan foto yang diambil di sini:

Apapun bentuk pasirnya yang penting usaha membangunnya. 



Bermain bersama lebih menyenangkan.
Sosok ayah yang sedang bermain pasir dengan anaknya.
Meski terlihat acuh namun Ia tetap memperhatikan anak-anaknya. Begitulah sosok seorang ayah.
Seorang ibu yang sedang mengajak anaknya bermain pasir.

Seorang anak dan dunianya. Asyik ya ... 

"Nak, ayah tidur dulu ya. Kamu main pasir saja." Kira-kira begitulah kata si Ayah.

Menuju senja yang sudah dinanti banyak orang.


Dan akhir dari tulisan ini adalah seperti gambar berikut:

Di mana pun tempat liburannya, yang terpenting adalah arti kebersamaannya.