Rabu, 29 Juli 2015

Asam Pahit Dunia Luar

Kata orang, "dunia luar itu kejam." Banyak orang yang saling sikut, banyak orang yang sudah tidak ada rasa peduli dengan sesama, banyak orang yang lupa hakekat kejujuran, juga banyak orang yang menghalalkan berbagai cara demi kepentingan perut, dan banyak orang lainnya yang melakukan tindakan keji. Dan kenyataannya semua adalah benar, karena itu terjadi pada diri saya sendiri. 

Tepat pada hari ini menjelang siang, dari kawasan Cibitung usai melakukan suatu hal, akses transportasi umum di sana sangatlah minim dan pas tempat yang saya sedang kunjungi tidak ada angkutan umum yang lewat kecuali ojek. Alhasil, untuk beralih ke jalan raya, saya harus menaiki ojek. Karena kurang paham soal nego dengan abang ojek ke jalan raya, teman saya pun yang turun tangan soal nego. Rp 15.000 sesuai kesepakatan, saya pun menimbang-nimbang jarak dan tarif sepertinya sesuai. Kemudian berlanjutlah saya naik ojek dan berpisah dengan teman saya. 

Kawasan Cibitung itu bisa dibilang sepi saat siang hari, entahlah bagaimana kondisi pagi, sore, atau malamnya. Disela perjalanan saya dengan abang ojek, saya pun sudah merasa was-was, karena si abang ojek ini ada sesuatu hal yang ganjil. Pertama, saya dibawa ke akses jalan sepi yang padahal saya lihat disekitarnya masih lumayan agak banyak orang dan lagipula juga bisa lewat akses jalan tersebut. Oh ya, posisi saya duduk di motor itu dengan posisi miring, jadi saya beranggapan, kalau terjadi "something wrong" saya bisa segera loncat dari motor (belum mikirin setelahnya). Kemudian juga saya pakai jurus terjitu saya untuk mengunci mati tindak kejahatan, jadi saya pura-pura nelepon orang tua saya dan mengatakan bahwa saya sedang naik ojek menuju tempat orang tua menunggu (padahal mah bohong) terus menyelipkan ucapan, "nanti di sms nomer plat abang ojeknya." Dengan kata lain, hal tersebut bisa juga menakuti abang ojek, karena secara tidak langsung ia akan berpikir jika bertindak jahat maka identitasnya mudah ditemukan karena adanya nomor plat tersebut. Makanya dibiasain kalau naik ojek atau taksi dilihat dan dihafal nomor platnya. 

Dan keganjilan kedua adalah saat menanyakan sesuatu hal ke abang ojeknya, si abang ojeknya terus saja diam dan melirik melalui kaca spion ke arah saya. Dengan tatapan tajam dan mempercepat irama motornya. Jadi makin was-was sebenarnya, tapi doa lah yang hanya bisa dipanjatkan. Selain daripada itu, saya juga punya jurus terjitu lainnya, yaitu berteriak kalau ada "something wrong" juga. 

Akhirnya si abang ojek pun menurunkan saya bukan pada tempatnya dan pas minta tarifnya, uang saya kan Rp 20.000 terus saya minta kembalian goceng, kata abangnya dengan bahasa isyarat sambil merogohkan kantong alias gak ada kembalinya dan secara tidak langsung meminta semua uang saya, saya pun agak membentak abang ojeknya, "sesuai kesepakatan dong bang." Alhasil, saya mencari tukeran uang dan membayarnya pas sesuai kesepakatan. Perjalanan ke jalan raya sebenarnya masih jauh, tapi dari kejauhan saya menghindar dari abang ojeknya, si abang ojeknya malah masih melihat ke arah saya. Saya pun tak ingin dianggap "mudah" oleh abangnya, saya lihat balik ke arah abangnya dengan tatapan super tajam (sepasang mata seorang perempuan itu lebih tajam dari seuntaian kata). Lalu, semuanya berakhir dan saya melanjutkan perjalanan dengan angkutan kecil ke arah jalan raya. 

Setelah menaiki angkutan kecil, saya beralih ke bus jurusan Pulo Gadung. Biasanya tarifnya itu 10 ribu atau 7 ribu. Nah ini, karena uang saya Rp 50.000 (gak ada recehan), malah dikembaliin sama keneknya Rp 30.000. Tanpa basa-basi, saya palakin lagi keneknya, "bang, kok ini kembaliannya tiga puluh ribu? Kan tarifnya ceban." Abangnya pun dengan santai justru menjawab, "naik mbak tarifnya." Dengan rasa dongkol, saya pun bertanya kepada ibu-ibu di depan saya, "bu, naik bus ini tarifnya berapa ya?" Si ibu-ibu pun menjawab, "tujuh ribu atau sepuluh ribuan mbak." Rasanya makin teriris saja mendengarnya. Bukan masalah tarifnya berapa, tapi masalahnya adalah tarif kejujurannya. Gitu aja kok. Terus juga kata ibu-ibu di samping tempat duduk saya yang baru saja masuk bus, bilang: "Mbak, kalau di sini hati-hati. Emang pada suka begitu keneknya dan juga banyak copet." Duh ileh, makin merasa was-was saja kalau gini mah. 

Huuuuh... emang benar ya, dunia itu sudah terasa kejam. Karena keamanan dan keselamatan bukan lagi perioritas utama dan juga kejujuran sudah tak banyak yang menganutnya. Pffft!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar